Oleh:
Naila Winandan, Anisa Tri Yanuaty, Widya Ayu Puspita Ningrum
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta
Abstrak
Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan bentuk hubungan tidak sehat yang sering tersembunyi di balik kata cinta. Artikel ini membahas bagaimana kekerasan dalam hubungan dapat berdampak serius terhadap kesehatan mental korban, seperti stres, depresi, trauma, hingga keinginan bunuh diri. Meskipun demikian, banyak korban terutama perempuan, memilih bertahan karena cinta, ketergantungan emosional, memiliki harga diri yang rendah, atau karena manipulasi dari pasangan. Luka psikologis yang tidak terlihat sering kali diabaikan, padahal hal tersebut dapat meninggalkan dampak jangka panjang bagi para korban. Edukasi mengenai tanda-tanda hubungan yang tidak sehat, dukungan sosial, dan keberanian untuk keluar dari lingkaran kekerasan menjadi kunci penting dalam pemulihan korban. Cinta yang sehat seharusnya menciptakan rasa aman, bukan menyisakan luka.
Kata Kunci: Kekerasan dalam pacaran, kesehatan mental
Apakah Semua Cinta itu Menyembuhkan, atau Ada Cinta yang Justru Menyakiti?
Cinta idealnya menjadi tempat berlindung yang menghadirkan rasa aman, nyaman, dan dukungan emosional. Namun, kenyataannya, tidak sedikit hubungan romantis justru menjadi sumber kekerasan yang tersembunyi di balik dalih kasih sayang dan perhatian. Fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) kian marak terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda, mencakup kekerasan fisik, psikologis, seksual, hingga ekonomi (Tisyara & Valentina, 2024). Kekerasan ini sering kali sulit dikenali karena dibalut dalam narasi cinta dan kesetiaan, sehingga membuat korban kebingungan membedakan antara perhatian dan pengendalian. Pacaran merupakan proses membangun hubungan personal yang dilandasi kasih sayang antara dua individu, yang juga menjadi bagian dari perkembangan psikososial remaja dan dewasa muda (Papalia & Feldman, 2014; Lorenza, 2019). Namun, dalam proses ini, kekerasan bisa saja muncul sebagai bentuk ketimpangan kuasa dan kontrol dalam relasi. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), sekitar 30% perempuan di 161 negara mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan maupun non-pasangan antara tahun 2000 hingga 2018. Angka ini menegaskan bahwa cinta tidak selalu menyembuhkan, ada cinta yang justru melukai dan meninggalkan luka psikologis yang dalam.
Luka yang Tak Terlihat: Dampak Psikologis Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah tindakan yang mengandung unsur tekanan dan kontrol terhadap pasangan, yang dapat merusak secara fisik maupun psikologis (Hasmayni, 2015). Dampaknya sangat kompleks, mulai dari stres, depresi, trauma, hingga keinginan bunuh diri (Wofle & Temple, 2018; Safitri & Samai, 2013; Kenney, 2012; Vaknin, 2006). Selain luka fisik, korban juga bisa mengalami gangguan tidur, perasaan takut, kehilangan harapan, serta kebencian terhadap lawan jenis (Ayu et al., 2013). Luka psikologis ini sering tak terlihat dan kerap diabaikan, padahal justru lebih lama menetap dan berdampak lebih berat. Dalam jangka panjang, korban dapat mengalami gangguan kepercayaan diri, kecemasan kronis, dan kesulitan dalam fungsi sosial, akademik, bahkan perkembangan kepribadian (Natasya & Susilawati, 2020).
Kenapa Sulit untuk Keluar dari Hubungan Abusive?
Korban kekerasan dalam pacaran sering sulit melepaskan diri karena cinta, rendahnya harga diri, tekanan sosial, dan ketergantungan emosional (Tisyara & Valentina, 2024; Mesra et al., 2014). Minimnya pemahaman tentang kekerasan membuat banyak korban tidak menyadari bahwa mereka sedang disakiti. Manipulasi emosional dari pelaku, seperti bersikap kasar lalu lembut, menciptakan harapan palsu bahwa pasangan akan berubah. Manipulasi emosional dari pelaku, seperti bersikap kasar lalu tiba-tiba lembut, membuat korban bingung dan semakin sulit keluar dari hubungan tersebut. Rasa tabu untuk menceritakan kekerasan yang dialami juga memperparah isolasi korban terhadap lingkungan sosialnya (Lestari et al., 2022). Akibatnya, mereka merasa tidak memiliki dukungan dan memilih menyimpan luka sendiri. Setelah berhasil keluar dari hubungan tersebut, banyak korban mengaku membutuhkan waktu yang lama untuk pulih dan kembali mempercayai orang lain, karena trauma mendalam dan ketakutan akan kekerasan serupa terulang kembali. Kekerasan biasanya terjadi dalam siklus: dimulai dari fase tenang, meningkat menjadi kekerasan, lalu diikuti permintaan maaf dan kasih sayang yang dikenal sebagai honeymoon phase. Pola ini membuat korban kembali terjebak (Safitri & Samai’, 2013). Selain itu, bias kognitif seperti framing bias, emotional bias, illusion of control, serta loss dan regret aversion memperkuat keputusan untuk tetap bertahan (The Conversation, 2024). Rasa tabu untuk bercerita membuat korban terisolasi. Bahkan setelah keluar, proses pemulihan psikologis sering kali berlangsung lama akibat trauma yang mendalam.
Simpulan
Kekerasan dalam pacaran bukanlah hal sepele—dampaknya bisa menghancurkan kesehatan mental dan rasa percaya diri seseorang. Sayangnya, banyak korban yang tetap bertahan karena cinta, ketidaktahuan, atau manipulasi emosional dari pasangan. Luka yang ditinggalkan sering kali tidak tampak, namun bisa membekas seumur hidup. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk lebih peka dalam mengenali tanda-tanda hubungan yang tidak sehat, seperti perilaku posesif, tindakan kekerasan, dominasi, dan tidak adanya kesempatan untuk berkembang (Riani, 2021). Edukasi, dukungan dari lingkungan, serta keberanian untuk bertindak adalah langkah awal untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Ingatlah, cinta seharusnya tidak menyakitkan. Hubungan seharusnya membuatmu merasa aman, bukan terancam.
Referensi
Ayu, S. M., Hakimi, M., & Hayati, E. N. (2013). Kekerasan dalam pacaran dan kecemasan remaja putri di kabupaten purworejo. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health), 6(1).
Haes, P.E. (2017). (Kekerasan Pada Remaja Perempuan Dalam Masa Pacaran (Dating Violence) Di Kota Denpasar Dalam Perspektif Analisis Interaksi Simbolik). Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial, 1(2), 166–176.
Hamilton, A. (2017). Understanding The Experiences of Women Who Stay in Abusive Relationships. BMC Public Health. University of Regina.
Kenney, K. L. (2012). Domestic violence. United States of America, USA: ABDO Publishing Company.
Khaninah, A.N. & Widjanarko, M. (2016). Perilaku Agresif Yang Dialami Korban Kekerasan Dalam Pacaran. Jurnal Psikologi Undip, 15(2), 151–160.
Lestari, P., Abidin, Z., & Abidin, F. (2022). Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran (KDP) dan Dampak Psikologisnya pada Wanita Dewasa Awal sebagai Korban Kekerasan. Martabat Jurnal Perempuan dan Anak, 6(1), 65–84. https://doi.org/10.21274/martabat.2022.6.01.65-84
Mayasari, A. & Rinaldi, K. (2017). Dating Violence Pada Perempuan (Studi Pada Empat Perempuan Korban Kekerasan Dalam Hubungan Pacaran Di Universitas X). Sisi Lain Realita, 2(2), 76–89.
Mesra, E.M., Salmah, S.S. & Fauziah, F.F. (2014). Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja Putri Di Tangerang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 2(1), 1–8.
Natasya, G. Y., & Susilawati, L. K. P. A. (2020). Pemaafan pada remaja perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran. Psikobuletin, 1(3), 169–177.
Riani. (2021). Stop Toxic Relationship. Gowa: Pustaka Taman Ilmu.
Safitri, W.A. & Samai’ (2013). Dampak kekerasan dalam berpacaran (the impact of violence in dating). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa. Universitas Jember, Jawa Timur.
Sari, I.P. (2018). Kekerasan Dalam Hubungan Pacaran Di Kalangan Mahasiswa: Studi Refleksi Pengalaman Perempuan. DIMENSIA: Jurnal Kajian Sosiologi, 7(1).
Sudarmiati, S. & Irawadhi, D.A.L. (2016). Pengalaman Dating Violence Pada Remaja Putri. MUSWIL IPEMI Jateng, September 2016, 219–232.
The Conversation. (2024). Mengapa memilih bertahan? Riset temukan bias kognitif di balik kekerasan dalam pacaran. Retrieved from https://theconversation.com
Vaknin, S. (2006). Toxic relationships: Abuse and its aftermath workbook (1st ed). Republic of Macedonia: A Narcissus Publications Imprint Prague & Skopje.
Wolfe, D., & Temple, J. R. (Eds.). (2018). Adolescent dating violence: Theory, research, and prevention. Academic Press.
