Oleh
Kamelia Yusuf, Amanda Dwi Juliana, Najwa Carendra Felati Putri
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana
Pendahuluan
Pernahkah kamu scroll media sosial dan merasa iri melihat tubuh “sempurna” yang dipamerkan? Atau merasa harus diet ekstra keras supaya terlihat ideal? Kamu tidak sendiri. Di balik gemerlapnya foto-foto #bodygoals dan trend diet instan, ternyata terdapat kenyataan serius yang tersembunyi, yakni gangguan makan. Menurut American Psychiatric Association (2013), gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia bukan hanya masalah pola makan, melainkan gangguan psikologis yang memengaruhi cara seseorang memandang dan merasa tentang tubuhnya sendiri. Bahkan, data dari National Eating Disorders Association (NEDA) menunjukkan bahwa gangguan makan memiliki tingkat kematian tertinggi di antara gangguan mental lainnya lebih tinggi dari depresi maupun gangguan bipolar. Sayangnya, banyak orang masih mengira gangguan makan hanyalah “ngurangin makan yang kelewatan.” Padahal, ini adalah perang batin yang menghancurkan, dimana obsesi akan tubuh ideal perlahan-lahan merenggut kesehatan fisik dan mental.
Apa itu gangguan makan?
Gangguan makan bukan hanya soal menolak makan. Gangguan makan dalam kamus APA 2015 (dalam Chairani, 2018) merupakan gangguan yang ditandai oleh gangguan patologis sikap dan perilaku yang berhubungan dengan makan. American Psychiatric Association, 2013 (dalam Chairani, 2018) menyebutkan bahwa DSM-V menetapkan kriteria untuk gangguan makan seperti, Anorexia Nervosa (AN); Bulimia Nervosa (BN); Binge Eating Disorder (BED); dan Eating disorder Not Otherwise Specified (EDNOS), pica dan Rumination. Kriteria ini menjadi standar acuan dalam diagnosa bagi seseorang yang memiliki permasalah makan.
Peran Body Image dalam Gangguan Makan
Pada individu dengan gangguan makan, body image seringkali mengalami distorsi atau ketidaksesuaian nyata antara persepsi dan kenyataan. Misalnya, seseorang dengan anoreksia nervosa bisa melihat dirinya sebagai “gemuk” meskipun tubuhnya sangat kurus (American Psychiatric Association, 2013). Distorsi ini bukan hanya persepsi visual, tapi juga diwarnai perasaan cemas, takut, dan ketidakpuasan yang mendalam terhadap tubuh.
Sebuah studi oleh Mallaram et al. (2023) menemukan bahwa terdapat korelasi signifikan antara gangguan makan dengan persepsi citra tubuh, kualitas citra tubuh, dan harga diri pada mahasiswi kedokteran. Penurunan harga diri dapat memicu perilaku seperti diet ketat dan olahraga berlebihan, yang berkontribusi pada perkembangan gangguan makan.
Selain itu, penelitian oleh Limas et al. (2022) menunjukkan bahwa ketidakpuasan citra tubuh selalu memiliki hubungan bahwa ketidakpuasan citra tubuh adalah faktor utama dalam mengembangkan gangguan perilaku makan yang tidak teratur. Distorsi citra tubuh juga dapat memengaruhi kualitas hidup individu. Studi oleh Mallaram et al. (2023) mengungkapkan bahwa gangguan makan berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah dan harga diri yang rendah pada mahasiswi kedokteran. Hal ini menunjukkan bahwa distorsi citra tubuh tidak hanya berdampak pada perilaku makan, tetapi juga pada kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.
Mengapa Ini Terjadi?
Gangguan makan tidak muncul begitu saja, melainkan akibat interaksi beberapa faktor yang saling memengaruhi :
-
Tekanan Sosial dan Budaya
Media sosial dan budaya populer sering mempromosikan standar kecantikan yang sangat ideal dan sempit, misalnya tubuh kurus bagi perempuan atau berotot bagi laki-laki. Tekanan ini bisa sangat kuat terutama pada remaja dan dewasa muda yang rentan terhadap penilaian sosial (Rodgers et al., 2019). Media seperti Instagram sering kali memperkuat citra tubuh yang tidak realistis dan menyebabkan ketidakpuasan tubuh yang memicu gangguan makan. -
Faktor Psikologis
Orang dengan kepribadian perfeksionis, serta yang mengalami kecemasan dan depresi, cenderung lebih rentan terkena gangguan makan. Menurut Sassaroli dan Ruggiero (2015), perfeksionisme bisa menjadi tekanan internal yang memicu perilaku makan tidak sehat sebagai cara untuk memenuhi standar yang sangat tinggi. Selain itu, Hay dan Mitchison (2019) menjelaskan bahwa kecemasan dan depresi seringkali memperburuk gangguan makan, karena individu menggunakan kontrol terhadap makanan dan berat badan sebagai mekanisme koping menghadapi ketidakpastian dan stres. Gangguan makan ini bisa dipandang sebagai coping maladaptif yang memberikan rasa pengendalian sementara, meskipun sebenarnya memperparah kondisi psikologis mereka. -
Pengalaman Pribadi dan Trauma
Trauma, seperti pelecehan fisik atau seksual, dapat meningkatkan risiko gangguan makan. Menurut National Eating Disorders Association (NEDA, 2023), gangguan makan sering kali berkembang sebagai cara coping terhadap trauma dan stres emosional. Selain itu, komentar negatif dari orang terdekat juga memperkuat ketidakpuasan tubuh yang memicu perilaku makan tidak sehat (NEDA, 2023). -
Faktor Biologis dan Genetik
Gangguan makan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor psikologis, tetapi juga faktor biologis dan genetik. Penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi genetik tertentu dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap gangguan makan. Misalnya, studi kembar dan keluarga mengindikasikan bahwa risiko gangguan makan, seperti anoreksia nervosa, dipengaruhi oleh faktor genetik sekitar 50-60% (Bulik, 2017). Selain itu, ketidakseimbangan neurotransmitter seperti serotonin juga berperan dalam gangguan makan, memengaruhi mood dan pengaturan nafsu makan (Kaye et al., 2013).
Dampaknya terhadap Kesehatan Mental dan Fisik
Gangguan makan dapat mempengaruhi hampir setiap sistem dalam tubuh kita. Dampak fisiologis dari gangguan makan ini, dari penelitian (Hasna, 2021) menuliskan contoh pada penderita bulimia nervosa, dampak fisik yang utama sering kali berasal dari siklus makan berlebihan (binge eating) dan purging, seperti muntah paksa, hal ini menyebabkan naiknya asam lambung ke kerongkongan secara berulang yang dapat menyebabkan penyakit seperti GERD, Barret esophagus, akalasia serta refluks laringofaringeal. Lalu juga komplikasi pada kardiovaskuler seperti aritmia, erosi pada enamel gigi karena refluks asam lambung hingga ke mulut.
Selain dampak fisiologis, terdapat juga dampak pada kesehatan psikologis mereka yang menderita gangguan makan, pernyataan ini diperkuat dalam penelitian Udo & Grilo (2018) dimana ia menyebutkan bahwa lebih dari 50% persen responden melaporkan gangguan dalam aktivitas mereka sehari-hari, masalah hubungan interpersonal serta kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab. Gangguan makan bersifat berkesinambungan, di dalam penelitian dipaparkan, dengan tingkat kekambuhan tinggi (misal, 63,5% untuk Binge Eating Disorder (BED) serta 54,7% untuk Bulimia Nervosa (BN)). Hal ini menunjukan dampak jangka panjang pada kesehatan psikologis, termasuk risiko gangguan kecemasan.
Kesimpulan
Gangguan makan merupakan gangguan psikologis serius, bukan hanya sekedar diet, dengan dampak fisik dan mental yang menghancurkan. Pemicunya multifaktorial, perfeksionisme, kecemasan, trauma, komentar negatif, ditambah dengan faktor biologis dan genetik. Dampaknya luas, mulai dari GERD serta masalah jantung hingga gangguan hubungan interpersonal dan aktivitas sehari-hari. Sebagai individu, penting untuk meningkatkan kesadaran, menghentikan stigma serta mendukung mereka yang berjuang dengan gangguan makan.
Referensi
Chairani, L. (2018). Body Shame dan Gangguan Makan Kajian Meta-Analisis. Buletin Psikologi, 26(1). https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.27084
Bulik, C. M. (2017). Genetic influences on eating disorders. Current Opinion in Psychiatry, 30(6), 437-441. https://doi.org/10.1097/YCO.0000000000000372
Hasna, A. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana Bulimia Nervosa. Jurnal Medika Hutama, 2(4), 1218–1222. http://jurnalmedikahutama.com
Kaye, W. H., Fudge, J. L., & Paulus, M. (2013). New insights into symptoms and neurocircuit function of anorexia nervosa. Nature Reviews Neuroscience, 10(8), 573-584. https://doi.org/10.1038/nrn2762
Limas, K. J., Barrera, V. A. M., Diaz, K. F. M., Huidobro, S. R. N., & Barba, G. C. (2022). Body dissatisfaction, distorted body image and disordered eating behaviors in university students: An analysis from 2017–2022.
Mallaram, G. K., Sharma, P., Kattula, D., Singh, S., & Pavuluru, P. (2023). Body image perception, eating disorder behavior, self-esteem and quality of life: a cross-sectional study among female medical students. Journal of Eating Disorders, 11, Article 225
Udo, T., Grilo, C, M. (2018). Prevalence and Correlates of DSM-5 Eating Disorders in Nationally Representative Sample of United States Adults. Biological Psychiatry. doi: 10.1016/ j.biopsych.2018.03.014
