Oleh
Amanda Dwi Juliana, Najwa Carendra Felati Putri, Kamelia Yusuf
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana
Abstrak
Fenomena hustle culture menggambarkan budaya yang mengagungkan kesibukan dan kerja tanpa henti sebagai simbol keberhasilan. Meskipun sering dianggap sebagai motivasi positif, berbagai penelitian menunjukkan bahwa budaya ini memiliki dampak negatif terhadap kesehatan fisik maupun psikologis. Individu yang terjebak di dalamnya cenderung berada dalam survival mode, mengalami burnout, dan bahkan terjebak dalam toxic productivity, yakni perilaku mengejar produktivitas berlebihan dengan mengorbankan kesejahteraan diri. Tingginya prevalensi kelelahan kerja pada berbagai konteks, termasuk pekerja di Belanda dan mahasiswa di Indonesia, menegaskan urgensi kajian ini. Artikel ini membongkar aspek psikologis dari hustle culture, alasan mengapa individu merasa bangga sibuk, serta dampak yang ditimbulkan. Sebagai solusi, pendekatan teologi istirahat ditawarkan dengan tiga prinsip utama: redefinisi kesuksesan secara holistik, menjaga keseimbangan antara target kerja dan kesejahteraan, serta menyikapi kelelahan dengan pemulihan diri. Prinsip ini diharapkan mampu menjadi landasan bagi individu maupun organisasi dalam membangun budaya kerja yang lebih sehat, manusiawi, dan berkelanjutan.
Kata kunci: hustle culture, burnout, toxic productivity, kesehatan mental, teologi istirahat
Pendahuluan
Pernahkah kamu merasa bangga ketika jadwalmu super padat, seolah-olah sibuk itu tanda sukses? Itulah yang disebut hustle culture sebuah budaya yang mengagungkan kerja keras tanpa henti sebagai simbol keberhasilan. Di media sosial, kita sering menjumpai slogan seperti “No Days Off” atau “Work Hard, Play Hard” yang seolah mendorong kita untuk terus produktif tanpa henti.
Namun, di balik gemerlapnya semangat kerja tiada henti, ada sisi gelap yang jarang dibicarakan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama International Labour Organization (ILO), orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu berisiko lebih tinggi mengalami penyakit jantung dan stroke. Artinya, kerja berlebihan bukan hanya melelahkan mental, tapi juga bisa mengancam kesehatan fisik kita. Psikolog Maleesha Ibrahim pernah menyebut bahwa hustle culture kini menjadi semacam aturan tak tertulis di dunia kerja modern. Glorifikasi produktivitas setiap saat justru berdampak negatif pada kesehatan mental banyak orang (Edition.mv, 2024). Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai toxic hustle culture budaya kerja keras yang tidak lagi menuntun pada kesuksesan, melainkan membuat individu kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Apa itu Hustle Culture?
Hustle Culture menurut Yuningsih et al., (2023) merupakan budaya bekerja keras yang mendorong untuk bekerja terus menerus di mana saja dan kapan saja. Menurut Triani, 2021 (dalam Theresia, 2022) fenomena Hustle Culture ini pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oates tahun 1971 di dalam bukunya yang bertajuk “Confession of a Workaholic: The Facts About Work Addiction”. Budaya ini juga didefinisikan sebagai cara bekerja yang tidak lagi mempunyai jam kerja yang standar. Menurut Lorelie, 2020 (dalam Ulfah & Nurdin, 2022) bahwa mereka yang berada dalam budaya hustle culture harus melakukan pekerjaan dalam waktu yang relatif sangat panjang secara terus-menerus bekerja.
Mengapa kita bangga sibuk & bekerja keras?
Absher, 2020 (dalam Metris et al., 2024) mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk bekerja tanpa menghiraukan area atau ketertarikan mereka demi memenuhi kebutuhan dasar hidup. Metris et al., (2024) juga menuliskan dalam artikelnya, sifat kompetitif itu membuat individu ingin terus bersaing menjadi yang paling terbaik di segala aspek dan bidang, termasuk dalam mencapai kesuksesan. Burgess et al., (2022) menyebutkan pastinya kita kerap kali melihat atau mendengar sebuah kutipan-kutipan motivasional mengenai pencapaian sukses, seperti “usaha keras membuahkan hasil”, “jangan menyerah sampai merasa bangga”, dan berbagai kutipan motivasional lainnya yang biasanya mengajarkan kita untuk terus “bekerja keras demi mencapai kesuksesan”. Menurut Christina & Shasita (2022) dalam konteks memberikan motivasi, kalimat imperatif lebih tegas, karena kalimat imperatif merupakan kalimat yang bersifat memerintah, menyuruh, atau permintaan untuk melakukan sesuatu. Tujuannya untuk mendorong audiens untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks Hustle Culture, ini berarti bahwa audiens harus mulai atau terus bekerja keras karena budaya tersebut berfokus pada eksekusi.
Dampak psikologis yang ditimbulkan
Budaya ini mendorong individu untuk terus berada dalam kondisi survival mode, yakni merasa harus selalu aktif dan produktif demi memperoleh pengakuan dari orang lain. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut berpotensi memicu burnout, yaitu kelelahan emosional kronis akibat tekanan yang berlangsung terus-menerus (Maslach & Leiter, 2016). Sebuah studi bahkan menemukan bahwa sekitar 13,7% pekerja di Belanda mengalami gejala burnout (Ulfah & Nurdin, 2022). Selain itu, hustle culture juga berkaitan dengan munculnya fenomena toxic productivity, yaitu dorongan untuk mencapai produktivitas secara berlebihan meskipun harus mengorbankan kesehatan fisik, mental, dan emosional. Istilah ini sering dijumpai dalam konteks pekerjaan, tetapi juga relevan pada kehidupan sehari-hari, termasuk pada mahasiswa yang merasa perlu selalu terlihat “sibuk” agar dianggap bernilai (Tsabita et al., 2023).
Solusi untuk menangani Hustle Culture
Menurut (Saputra, 2024) teologi istirahat dalam Keluaran 23:12 memberikan tiga prinsip penting untuk menyikapi budaya sibuk yang berlebihan, yaitu:
-
Redefinisi Kesuksesan Secara Holistik
Kesuksesan tidak seharusnya hanya diukur dari materi atau prestasi kerja semata. Perspektif holistik menekankan bahwa keberhasilan sejati adalah ketika pencapaian karier seimbang dengan kesehatan fisik, kondisi psikologis yang stabil, serta lingkungan kerja yang manusiawi. Dengan cara pandang ini, pekerja tidak lagi terjebak dalam perbandingan sosial (toxic productivity), melainkan belajar menerima penghasilan dan capaian kerja dengan penuh rasa cukup dan syukur. -
Menjaga Keseimbangan Antara Target Kerja dan Kesejahteraan
Prinsip enam hari bekerja dan satu hari beristirahat mengajarkan pentingnya proporsi yang sehat antara produktivitas dan pemulihan. Dalam konteks modern, keseimbangan ini dapat diwujudkan dengan disiplin terhadap jam kerja, menghindari beban kerja tambahan yang berlebihan, serta memanfaatkan waktu luang untuk keluarga dan perawatan diri. Perusahaan juga berperan besar dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan, misalnya dengan kegiatan refreshing bersama atau memberi ruang istirahat yang layak. -
Menyikapi Kelelahan dengan Pemulihan
Teologi istirahat menolak tuntutan untuk terus melawan rasa lelah. Sebaliknya, kelelahan perlu ditanggapi dengan penyegaran, baik secara fisik maupun psikis. Istirahat yang cukup bukan hanya menjaga kesehatan, tetapi juga memulihkan energi sehingga pekerja dapat kembali produktif secara optimal. Dengan demikian, istirahat dipandang bukan sebagai kemalasan, melainkan sebagai bagian integral dari produktivitas dan kesejahteraan holistik. Dengan menerapkan tiga prinsip ini — redefinisi sukses, keseimbangan kerja-istirahat, dan pemulihan diri — pekerja maupun organisasi dapat keluar dari jebakan hustle culture, sekaligus membangun budaya kerja yang lebih manusiawi, sehat, dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Burgess, A., Yeomans, H., & Fenton, L. (2022). ‘More options…less time’ in the ‘hustle culture’ of ‘generation sensible’: Individualization and drinking decline among twenty-first century young adults. British Journal of Sociology, 73(4), 903–918. https://doi.org/10.1111/1468-4446.12964
Christina & Shasita, R. (2022). Multimodal Discourse Analysis on Motivational Hustle Culture Quotes. METAPHOR, 4(2), 52–69.
Metris, D., Sulaeman, M., & Wakhidah, E. N. (2024). Hustle Culture: Mencermati Tren Perilaku Yang Mendorong Kesuksesan Tanpa Henti. AL-KALAM: Jurnal Komunikasi Bisnis dan Manajemen, 11(1), 111–131. 10.31602/al-kalam.v11i1.12053
Saputra, J. A. (2024). Teologi istirahat dan hustle culture: Teologi istirahat dalam Keluaran 23:12 dan implikasinya terhadap fenomena hustle culture. Jurnal Kepemimpinan Kristen, Teologi, dan Entrepreneurship, 3(2), 50–58.
Tsabita, N., Febriyanti, F., Komariah, E., & Wahyuni, M. (2023). Tren toxic productivity sebagai gejala terjadinya burnout syndrome terhadap prestasi akademik pada remaja rentang usia 18–23 tahun di Kota Bandung. SOSMANIORA: Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2(4), 495–501. https://doi.org/10.55123/sosmaniora.v2i4.2774
Theresia. (2022). Fenomena Hustle Culture. https://psychology.binus.ac.id/2022/11/29/fenomena-hustle-culture/
Ulfah, Nurdin. (2022). Hustle Culture: A New Face of Slavery. Aliansi: Jurnal Politik, Keamanan dan Hubungan Internasional, 226–233.
Yuningsih, Mardiana, N., Jima, H., & Prasetya, M. D. (2023). The effect of hustle culture on psychological distress with self-compassion as moderating variable. In R. Perdana, G. E. Putrawan, B. Saputra, & T. Y. Septiawan (Eds.), Proceedings of the 3rd Universitas Lampung International Conference on Social Sciences (ULICoSS 2022) (Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 740, pp. 1062–1073). Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/978-2-38476-046-6_102
