Badan Pengembangan dan Pengkajian Keilmuan

Menghadapi Penyakit Terminal Pada Anak: Ekspresi Emosi dan Dukungan Keluarga

Oleh:

Alya Naural Naurah Raudthatul Jannah, Liana Apriani, Nazwa Relian, Angelika Hasibuan
“Senang rasanya ketika ada orang-orang yang datang berkunjung.” – U,17 Tahun

 

Pendahuluan

Penyakit terminal pada anak merupakan kondisi yang tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga menimbulkan tekanan psikologis yang berat, baik bagi anak itu sendiri maupun orang tuanya. Diagnosis ini sering kali menjadi awal dari proses emosional yang kompleks, mulai dari kecemasan, kebingungan, hingga penolakan. Menurut WHO, ribuan anak di seluruh dunia menghadapi kondisi medis yang tidak dapat disembuhkan, dan memerlukan pendekatan paliatif sejak dini (Sarwar et al., 2013). Anak-anak merespon kondisi ini dengan cara yang berbeda tergantung pada usia dan tingkat perkembangannya. Begitu pula orang tua, yang menghadapi dilema antara harapan dan kenyataan.

Terminal Illness

Penyakit terminal adalah kondisi medis yang diperkirakan akan menyebabkan kematian dan tidak dapat disembuhkan secara medis. Kondisi ini mencakup berbagai penyakit kronis dan degeneratif seperti kanker stadium lanjut, fibrosis kistik, atau penyakit metabolik langka (Field & Behrman, 2003). Menurut laporan The Needs Angels, sekitar 53.000 anak meninggal setiap tahun akibat penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan. Pada kondisi ini, tujuan pengobatan bukan lagi penyembuhan, melainkan pengurangan penderitaan dan peningkatan kualitas hidup anak melalui perawatan paliatif (Sarwar et al., 2013).

Reaksi Anak

Respons anak terhadap penyakit terminal sangat bergantung pada tahap perkembangan usia. Spinetta (1973) menyebutkan bahwa bahkan anak kecil bisa merasakan adanya sesuatu yang serius, meskipun belum memahami konsep kematian. Anak usia 1–5 tahun cenderung cemas terhadap perpisahan, usia 5–10 tahun takut terhadap cedera fisik, dan anak ≥10 tahun mulai memahami kematian serta merasa takut akan kehilangan masa depan (Sarwar et al., 2013). Respons yang muncul bisa berupa kecemasan, ketakutan, penarikan diri, kemarahan, atau depresi. Hasil observasi di sebuah yayasan menunjukkan bahwa anak-anak <12 tahun lebih ekspresif, aktif secara sosial, dan terbuka dalam mengekspresikan emosi. Sebaliknya, anak-anak ≥12 tahun cenderung lebih tertutup, hanya berbagi dengan orang terdekat. Misalnya, seorang remaja 17 tahun lebih nyaman bercerita lewat WhatsApp atau kepada orang tua. Pola ini menunjukkan pembentukan mekanisme pertahanan khas remaja dalam menghadapi krisis emosional.

Reaksi Orang Tua

Penyakit terminal pada anak dapat menyebabkan guncangan hebat pada keluarga, terutama orang tua. Beberapa penelitian telah menunjukkan respon ekstrim terhadap diagnosa penyakit anak bisa menyebabkan masalah pernikahan pada orang tua, konsumsi alkohol, penyakit psikosomatis akibat stres, dan masalah dengan saudara kandung (Sarwar et al., 2013). Penyakit terminal pada anak dapat menciptakan krisis besar seperti mengguncang psikologis seluruh anggota keluarganya. Beberapa respon ekstrim pada orang tua dapat ditandai seperti menolak kenyataan diagnosis dan menjadi overprotective pada anak sehingga memperburuk stres anak.

Terapi Psikologis

Berbagai bentuk terapi psikologis terbukti bermanfaat bagi anak dengan penyakit terminal dan keluarganya. Terapi bermain memungkinkan anak mengekspresikan kecemasan secara aman, meningkatkan rasa kontrol diri, dan memperkuat kerja sama dengan tenaga medis, sekaligus mengurangi stres akibat perawatan. Terapi individual menjadi sarana penting bagi anak dalam menghadapi ketidakpastian pengobatan, dan bisa melibatkan orang tua untuk memahami kondisi anak secara menyeluruh. Terapi keluarga berfokus pada komunikasi terbuka dan dukungan emosional antar anggota keluarga, membantu orang tua mengelola emosi seperti marah, cemas, dan rasa bersalah saat mendampingi anak. Sementara itu, terapi kelompok memberikan ruang berbagi emosi dan membangun dukungan sosial. Intervensi kelompok yang terstruktur dengan tema yang jelas—seperti respons terhadap diagnosis, proses pengobatan, atau dampak psikososial penyakit—dapat meningkatkan kemampuan coping anak dan keluarga secara signifikan, terutama bila dikombinasikan dengan edukasi dan dukungan sebaya.

Kesimpulan

Penyakit terminal pada anak adalah ujian berat secara medis dan psikologis, baik bagi anak maupun keluarganya. Anak merespons dengan berbagai emosi seperti cemas, takut, atau menarik diri, sementara orang tua sering diliputi rasa bersalah, marah, dan tidak berdaya. Meski penuh tekanan, banyak orang tua tetap hadir secara fisik dan emosional, menunjukkan kasih sayang dan harapan. Oleh karena itu, intervensi psikologis seperti terapi bermain, terapi individual, terapi keluarga, dan terapi kelompok sangat penting. Pendekatan ini membantu anak mengekspresikan emosi dan mendukung orang tua agar lebih kuat secara mental, menjaga kualitas hidup keluarga secara holistik.

DAFTAR PUSTAKA
Field, M. J., & Behrman, R. E. (2003). When Children Die: Improving Palliative and End-of-Life Care for Children and Their Families. National Academy Press. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25057608/
Sarwar, S. R., Mangewala, V., & Baron, R. (2013). Helping the angels: a review of understanding and helping dying children. Innovations in Clinical Neuroscience, 10(3), 31–34. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23630648/
Spinetta, J. J., Rigler, D., & Karon, M. (1973). Anxiety in the dying child. Pediatrics, 52(6), 841–845. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/4769003/

Leave a Reply