Oleh:
Angelika Hasibuan, Nadya Nuria Latifah, Astiraisa Nabila
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana
Abstrak
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental terus meningkat, namun angka pencarian bantuan psikologis di Indonesia masih tergolong rendah. Artikel ini membahas peran stigma sebagai hambatan dalam pencarian bantuan, serta strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.
Terdapat tiga jenis stigma yang berperan signifikan, yaitu public stigma, self stigma, dan structural stigma. Ketiganya berdampak negatif terhadap keberanian individu dalam mengakses layanan kesehatan mental. Studi-studi terdahulu menunjukkan bahwa rendahnya literasi kesehatan mental memperkuat stigma dan menurunkan intensi pencarian bantuan. Sebaliknya, intervensi seperti kampanye publik, psikoedukasi, dan peningkatan literasi terbukti efektif dalam mengurangi stigma dan mendorong pencarian bantuan profesional.
Dengan demikian, diperlukan pendekatan sistematis untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental.
Kata kunci: Stigma, Kesehatan Mental, Literasi
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan serta kesadaran akan pentingnya kesehatan mental telah meningkat secara global. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diperkirakan 1 dari 10 penduduk Indonesia mengalami permasalahan kesehatan mental. Temuan serupa dari Riskesdas 2018 mencatat bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, sementara lebih dari 12 juta penduduk dalam kelompok usia yang sama mengalami depresi (Khalish, 2024).
Sayangnya, meskipun prevalensi masalah kesehatan mental cukup tinggi, angka pencarian bantuan profesional oleh individu yang mengalami permasalahan tersebut masih tergolong rendah (Yahya & Chusairi, 2025). Berbagai penelitian sebelumnya menemukan bahwa stigma menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam mencari bantuan psikologis.
Stigma merupakan bentuk karakteristik atau atribut negatif yang mampu melemahkan identitas diri serta self-esteem seseorang (Khalish, 2024). Stigma terhadap individu yang mengalami permasalahan kesehatan mental dibagi menjadi beberapa jenis utama menurut Van Brakel dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016), yaitu public stigma, self stigma, dan structural stigma.
Public stigma merupakan reaksi negatif yang berasal dari masyarakat umum terhadap individu yang mengalami penyakit mental. Self stigma adalah reaksi negatif individu terhadap dirinya sendiri yang mengakibatkan menurunnya harga diri dan kepercayaan diri karena penyakit mental. Sedangkan structural stigma merupakan bentuk reaksi negatif berupa penolakan dari institusi, hukum, atau perusahaan terhadap karyawan yang memiliki penyakit mental (Azzizah, 2022).
Dampak Stigma terhadap Pencarian Bantuan Psikologis
Stigma yang melekat pada individu dengan masalah kesehatan mental dapat menyebabkan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan psikologis dan sosial mereka. Menurut penelitian oleh Maya (2021), public stigma sering kali mengakibatkan rasa malu dan ketakutan yang membuat individu enggan mencari bantuan profesional. Rasa takut akan penilaian negatif dari masyarakat dapat memperburuk kondisi mental mereka, yang pada akhirnya menghambat proses pemulihan.
Selain itu, self stigma juga berperan penting dalam menghambat pencarian bantuan. Khalish (2024) menjelaskan bahwa individu yang mengalami stigma internal cenderung menurunkan harga diri mereka, sehingga merasa tidak layak untuk mendapatkan bantuan. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana rasa putus asa dan ketidakberdayaan semakin menguatkan stigma yang mereka alami, membuat mereka semakin terasing dari dukungan yang diperlukan.
Dampak dari stigma tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Menurut Azzizah (2022), structural stigma yang berasal dari institusi atau kebijakan dapat menghalangi individu dengan gangguan mental untuk mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam perawatan kesehatan mental dan menghambat upaya peningkatan literasi serta kesadaran masyarakat.
Studi Kasus: Realitas Pencarian Bantuan Psikologis
Sebuah studi oleh Magasi dan Hamdan (2023) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara literasi kesehatan mental dan niat individu untuk mencari bantuan. Responden yang memiliki pemahaman lebih baik mengenai kesehatan mental cenderung lebih terbuka terhadap bantuan profesional. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan informasi yang tepat dapat mengurangi stigma serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya mencari bantuan.
Penelitian lain oleh Imsa et al. (2023) menyoroti efektivitas kampanye publik dalam meningkatkan kesadaran kesehatan mental. Penggunaan media sosial seperti Instagram terbukti efektif menjangkau audiens yang luas dan menyebarkan informasi terkait kesehatan mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kampanye yang dirancang dengan baik dapat mengubah persepsi masyarakat dan mendorong individu untuk lebih proaktif mencari bantuan.
Sementara itu, penelitian oleh Syarifuddin et al. (2023) mengimplementasikan program psikoedukasi di kalangan mahasiswa. Program ini bertujuan meningkatkan literasi kesehatan mental dan mengurangi stigma di lingkungan akademik. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan sikap positif terhadap pencarian bantuan, membuktikan bahwa edukasi yang tepat dapat menjadi alat efektif dalam mengatasi stigma.
Strategi Mengatasi Stigma terhadap Pencarian Bantuan Psikologis
Menurut Maya (2021), individu kerap kali menunda atau bahkan tidak berani mencari bantuan profesional karena takut akan penilaian negatif dari lingkungan. Sejalan dengan temuan Magasi & Hamdan (2023), tingkat literasi kesehatan mental yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap sikap dalam mencari bantuan profesional.
Oleh karena itu, Imsa et al. (2023) mengemukakan beberapa strategi yang dapat dilakukan guna menanggulangi fenomena ini, yaitu:
-
Peningkatan literasi kesehatan mental
Literasi yang baik membantu individu memahami kondisi mereka dan mengurangi self stigma. Edukasi ini dapat dilakukan di universitas, sekolah, dan komunitas. -
Kampanye publik
Kampanye publik memiliki efektivitas tinggi dalam penyebaran informasi. Pesan kampanye mengenai kesehatan mental dapat menjangkau audiens yang luas, terutama melalui media sosial seperti Instagram. -
Penyuluhan terhadap individu yang mengalami gangguan mental
Penyuluhan langsung membantu individu memahami kondisi yang dialami, mengurangi rasa takut, dan membangun kepercayaan diri untuk mencari bantuan.
Daftar Pustaka
Azizah, E. Z. (2022). Gambaran stigma masyarakat terhadap penderita COVID-19 di RT 3 Desa Bakalan Kecamatan Bululawang. Institut Teknologi Sains dan Kesehatan. http://repository.itsk-soepraoen.ac.id/746/
Mochammad, A. Y., & Chusairi, A. (2025). Pengaruh literasi kesehatan mental terhadap intensi mencari bantuan pada remaja. Universitas Airlangga. https://repository.unair.ac.id/137054/
Rumah Sakit Jiwa Aceh. (n.d). Indonesia darurat kesehatan jiwa: 1 dari 10 orang idap gangguan mental. https://rsj.acehprov.go.id/berita/kategori/artikel/indonesia-darurat-kesehatan-jiwa-1-dari-0-orang-idap-gangguan-mental
Imsa, M. A., Sari, W. P., & Putriana, M. (2023). Efektivitas Media Baru dalam Kampanye Kesehatan Mental. INTERAKSI PERADABAN: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam. https://doi.org/10.15408/interaksi.v3i1.31837
Magasi, N., & Hamdan, N. S. R. (2023). Pengaruh Literasi Kesehatan Mental pada Stigma Depresi. Bandung Conference Series Psychology Science, 3(1). https://doi.org/10.29313/bcsps.v3i1.5325
Maya, N. (2021). Kontribusi Literasi Kesehatan Mental dan Persepsi Stigma Publik terhadap Sikap Mencari Bantuan Profesional Psikologi. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 7(1), 22. https://doi.org/10.22146/gamajop.58470
Syarifuddin, N. M., Mariskha, S. E., & Umaroh, S. K. (2023, October 4). Psikoedukasi untuk Meningkatkan Literasi Kesehatan Mental pada Kalangan Mahasiswa di Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Motivasi Jurnal Mahasiswa Psikologi. http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/MTV/article/view/7256
