Badan Pengembangan dan Pengkajian Keilmuan

The Silent Struggle: How Children Express and Experience Emotional Confusion

“Senang rasanya ketika ada orang-orang yang datang berkunjung.” – U

Oleh: [……]

Pendahuluan

Menurut Spinetta, anak-anak yang sakit parah sadar akan kondisi mereka meskipun orang tua berusaha menyembunyikan kebenaran atau mengatakan sebaliknya. Anak-anak tidak perlu memiliki konsep yang akurat tentang kematian untuk menyadari bahwa sesuatu yang mengerikan sedang terjadi pada mereka. Anak-anak dengan penyakit terminal mengalami berbagai emosi, termasuk kecemasan, kesedihan, ketakutan, dan kemarahan.

Ekspresi Emosi pada Anak Usia Dini

Anak-anak usia di bawah 12 tahun umumnya menunjukkan kemampuan ekspresi emosional yang terbuka. Mereka menyukai suasana ramai dan senang mengekspresikan perasaan secara langsung. Dalam konteks anak dengan penyakit terminal, kebutuhan untuk bermain, sekolah, dan dukungan sosial menjadi kebutuhan sosial utama yang membantu anak mengelola stres dan ketidakpastian. Hal ini sejalan dengan hasil observasi yang dilakukan di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), bahwa anak-anak kecil merasa lega saat mendapat perhatian emosional, seperti dalam bentuk permainan atau kehadiran orang tua.

Transisi Emosional Remaja: Tertutup dan Bingung

Anak-anak di atas usia 12 tahun mulai mengalami pergeseran dalam ekspresi emosi. Mereka cenderung lebih diam, tertutup, dan hanya berbagi dengan figur yang sangat dipercaya, seperti ibu. Perubahan ini bisa dikaitkan dengan perkembangan kognitif yang mulai kompleks, tekanan sosial, dan konflik internal yang belum bisa mereka uraikan. Studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan kondisi terminal pada usia remaja sering kali mengalami kecemasan, penarikan diri, dan bahkan agresivitas sebagai mekanisme pertahanan. Berdasarkan observasi yang kami lakukan di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), anak berusia 12 tahun ke atas lebih cenderung tertutup pada anak-anak lainnya di yayasan tersebut, mereka hanya berkeluh kesah kepada orang tuanya, dan lebih memilih tidak bersosialisasi kepada anak-anak lainnya, bahkan ada yang secara tidak langsung menutup diri, contohnya apabila ditanya tentang sesuatu dia hanya menjawab ya atau tidak, dan apabila tidak ditanya apa pun dirinya memilih untuk diam.

Ketergantungan Emosional dan Peran Dukungan

Ketergantungan emosional muncul pada anak-anak dalam berbagai kondisi, yang bergantung secara signifikan pada orang tua atau figur pendukung utama untuk regulasi emosi mereka. Studi oleh Adistie et al. (2020) menemukan bahwa keterlibatan orang tua dalam perawatan anak, khususnya yang sedang mengalami penyakit terminal, sangat penting untuk ketenangan emosional anak. Interaksi penuh kasih, kehadiran fisik, dan pemberian informasi yang sesuai usia dapat menurunkan kecemasan dan meningkatkan kenyamanan emosional. Berdasarkan observasi, anak-anak dan remaja cenderung mempertahankan ketergantungan emosional ini dengan terus bercerita dan mengungkapkan kebutuhan mereka kepada orang tuanya. Namun, ada beberapa yang cenderung menutup dirinya dari lingkungan sosial setelah mengetahui apa yang dialaminya.

Kesimpulan

Perubahan dalam cara anak mengekspresikan emosi seiring bertambahnya usia adalah bagian dari perkembangan normal, namun pada anak dengan kondisi terminal, transisi ini menjadi lebih kompleks. Berdasarkan studi dan juga hasil observasi yang dilakukan di Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), bahwa anak usia dini menunjukkan ketergantungan emosional yang tinggi namun terbuka dalam mengekspresikannya baik terhadap orang terdekat maupun orang yang tidak dikenal. Sebaliknya, beberapa remaja menunjukkan kebingungan emosional dan kecenderungan tertutup. Mereka cenderung hanya mengekspresikan perasaan mereka terhadap orang terdekat saja yakni orang tuanya. Dukungan emosional dari keluarga dapat membantu anak-anak mengatasi perasaan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Perkembangan emosional pada anak merupakan proses yang kompleks dan dinamis, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, termasuk usia, pengalaman hidup, dan konteks sosiokultural.

Referensi
Adistie, F., Lumbantobing, V.B.M., & Maryam, N.N.A. (2020). The Needs of Children with Terminal Illness: A Qualitative Study. Child Care in Practice, 26(3), 257–271.
Sarwar, S.R., Mangewala, V., & Baron, R. (2013). Helping the Angels: A Review of Understanding and Helping Dying Children. Innovations in Clinical Neuroscience, 10(3), 31–34.
Young Lives vs Cancer. (n.d.). Emotions When You’re Living With a Terminal Illness. Retrieved from https://www.younglivesvscancer.org.uk

Leave a Reply