Memahami Pelecehan Seksual dalam Game Online Melalui Lensa Teori Self-Control

Miranda Yasmine Prianto, Putri Andini, Anggrina Aufa Ainahaq

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana

ABSTRAK

lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll

Kata Kunci: Pelecehan seksual, game online, self control, internet, remaja

PENDAHULUAN

Pelecehan seksual merupakan perbuatan, tindakan atau perhatian yang bernuansa seksual untuk memuaskan hawa nafsu seseorang baik dilakukan secara verbal maupun non-verbal yang membuat korban merasa terancam keamanannya, dipermalukan, diremehkan, dan direndahkan derajatnya menurut Suyanto (2010) 

Pelecehan seksual menjadi fenomena yang meresahkan masyarakat, karena kejadian tersebut dapat terjadi dimana saja, seperti tempat kerja, jalanan, kendaraan umum dan bahkan di internet. Pelecehan seksual verbal di internet ini akan memberikan perasaan tidak nyaman, takut, hingga trauma kepada para korbannya. Dengan kata lain, pelaku pelecehan seksual verbal di internet telah merusak hak asasi korban sebab korban tidak dapat menggunakan internet dengan nyaman, aman, dan tidak terintimidasi oleh siapapun. Sebaliknya, para pelaku mendapatkan kepuasan psikis secara pribadi karena berhasil memenuhi nafsunya sekaligus memberikan rasa tidak aman dan trauma ke korban (Sanjaya & Wirasila, 2021, p. 96). Oleh karena itu, pelecehan seksual verbal di internet ini perlu menjadi perhatian khusus bagi setiap orang apalagi bagi kelompok rentan seperti remaja.

Adapun pelecehan seksual yang terjadi di dalam aktivitas sosial yang ada pada game online (Nursyafia, Amirulloh, & Muchtar, 2023). Kasus pelecehan seksual melalui game online terjadi pada sebelas anak usia 9-17 tahun. Pelaku merayu korban dengan menawarkan bantuan seperti membelikan “diamond” yang merupakan alat tukar yang harus dibeli dengan uang sehingga pemain bisa membeli barang apa saja yang ada di dalam game. Pelaku juga mengancam korban yang masih di bawah umur dengan menghapus game milik korban jika tidak mau mengikuti keinginan pelaku. Korban mengirimkan video yang menirukan adegan pornografi dan pelaku juga meminta korban untuk melakukan video call seks. Orang tua yang pertama kali menemukan bahwa anaknya dilecehkan segera melaporkan hal ini ke polisi (Aji, 2021). Pelecehan seksual verbal juga terjadi pada anak dan remaja di game online dalam lingkup ranah online

Self control dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur, membimbing, dan mengarahkan tindakan mereka menuju hal yang positif. Hal ini melibatkan kemampuan untuk memodifikasi perilaku, mengelola informasi yang tidak diinginkan, dan memilih tindakan berdasarkan nilai dan kepercayaan yang dimiliki. Self control melibatkan tiga konsep utama: kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih tindakan berdasarkan suatu yang diyakini.

Edukasi tentang self control sangat penting dalam mencegah pelecehan seksual. Dengan meningkatkan kesadaran dan kemampuan mengendalikan diri, individu dapat mengarahkan perilaku mereka ke arah yang lebih positif dan menghindari perilaku negatif seperti pelecehan seksual. Kurangnya self control pada pelaku pelecehan seksual seringkali membuat mereka merasa memiliki kekuasaan yang lebih atas korban. Hal ini dapat dipicu oleh kekurangan kemampuan mengendalikan emosi dan dorongan-dorongan negatif.

Berdasarkan informasi yang dipaparkan, artikel ini bertujuan untuk mengulas berbagai studi yang telah dilakukan untuk memahami pelecehan seksual dalam game online melalui lensa teori Self-Control.

PEMBAHASAN

Menurut Averill (Ghufron & Risnawati, 2011) self control adalah kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini. Pengertian yang dikemukakan oleh Averill menitikberatkan pada seperangkat kemampuan mengatur dalam memilih tindakan yang sesuai dengan yang diyakini nya. 

Maka dapat disimpulkan bahwa self control adalah kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan perilakunya sesuai dengan standar moral, nilai, dan aturan sosial yang diyakini. Ini melibatkan kemampuan untuk memilih dan memodifikasi tindakan berdasarkan keyakinan dan informasi yang diperoleh, guna mencapai perilaku yang positif dan sesuai dengan norma sosial.

Dalam hal ini, pengendalian diri sangatlah berperan penting dalam kehidupan. Pengendalian diri yang terdapat pada dalam diri tidaklah sama, hal tersebut dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukannya. Pengendalian diri sebagai mediator psikologis dan berbagai perilaku. Kemampuan untuk menjauhkan dari perilaku yang mendesak dan memuaskan keinginan adaptif, orang yang memiliki pengendalian diri yang baik maka individu tersebut dapat mengarahkan perilakunya, sebaliknya jika individu yang memiliki pengendalian diri yang rendah akan berdampak pada ketidakmampuan mematuhi perilaku dan tindakan, sehingga individu tidak lagi menolak godaan dan impuls. 

Pengendalian diri, yang umumnya digunakan untuk mengatur perilaku dalam interaksi sosial, juga memainkan peran penting dalam konteks online, khususnya dalam dunia game. Selain fungsinya dalam bersosialisasi secara langsung, pengendalian diri diperlukan untuk mengelola perilaku dalam lingkungan virtual yang sering kali kurang memiliki konsekuensi langsung. Pengendalian diri dalam lingkup game online tidak hanya penting untuk menjaga pengalaman bermain yang positif, tetapi juga untuk mencegah perilaku-perilaku negatif dan memastikan lingkungan yang aman bagi semua pemain.

Namun, ketika individu memiliki tingkat pengendalian diri yang rendah, tantangan dalam lingkungan game online dapat meningkat secara signifikan. Anonimitas yang sering kali ada dalam game dapat mengaburkan batasan sosial dan norma-norma, membuat individu lebih cenderung terlibat dalam perilaku negatif tanpa merasa terikat oleh konsekuensi langsung. Anonimitas tersebut akan memudahkan pelaku dalam melakukan tindak kejahatannya. Akibat dari sulitnya mendeteksi akun anonim ini mengakibatkan sebagian besar orang akan menggunakan anonimitas sebagai identitasnya dalam berinteraksi di media sosial.

Kompetisi dan keinginan untuk menunjukkan dominasi di dunia virtual juga dapat memperburuk masalah, mendorong individu dengan pengendalian diri yang rendah untuk melakukan tindakan yang melanggar norma sosial, seperti pelecehan seksual. Dalam hal ini individu merasa kurang bertanggung jawab atas tindakan mereka ketika tanggung jawab tersebar di antara banyak orang. Di lingkup game online, hal ini dapat memperburuk masalah pelecehan seksual, karena pemain mungkin merasa bahwa mereka tidak perlu bertanggung jawab untuk menghentikan atau melaporkan tindakan tersebut, mengandalkan asumsi bahwa orang lain akan bertindak. Anonimitas dalam game memperkuat efek ini, membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi, sementara saksi dan korban mungkin merasa tidak ada yang akan membantu mereka, sehingga pelecehan lebih mungkin terjadi dan sulit dihentikan.

Selain itu, kurangnya konsekuensi nyata dari perilaku negatif dalam game dapat memperkuat kecenderungan untuk terlibat dalam tindakan pelecehan seksual. Menurut Winarsunu, pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktivitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban. 

Di era digital, kekerasan seksual juga dapat terjadi di platform online, termasuk dalam game online, yang merupakan ruang interaksi virtual di mana pemain dari berbagai latar belakang berkomunikasi secara real-time. Dalam lingkungan ini, pelecehan seksual sering kali muncul dalam bentuk pelecehan verbal, ancaman, atau ajakan seksual yang tidak diinginkan. Pelaku dengan self control rendah mungkin tidak mampu menahan dorongan untuk melakukan pelecehan seksual, baik karena ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi maupun karena dorongan untuk mendapatkan kekuasaan atau kepuasan langsung dari perilaku mereka. 

Contoh pelecehan seksual dalam video game online termasuk lelucon seksual, hinaan seksual, rayuan seksual yang tidak diinginkan, lelucon pemerkosaan, dan komentar tentang penampilan pemain wanita (Fox & Tang, 2013). Pelecehan seksual paling sering dilakukan oleh pria yang menargetkan wanita baik dalam konteks offline maupun online (Henry & Powell, 2016; Pina et al., 2009). Eksperimen lapangan dalam permainan video online di mana para peneliti berinteraksi dengan pemain anonim lainnya menggunakan pesan netral yang telah direkam sebelumnya mengungkapkan bahwa para pemain ini bereaksi tergantung pada jenis kelamin suara tersebut. Hasilnya adalah pemain bersuara perempuan menerima komentar negatif tiga kali lebih banyak daripada pemain bersuara laki‐laki dan pemain bersuara perempuan menerima lebih banyak dari pemain berketerampilan lebih rendah (Kasumovic & Kuznekoff, 2015; Kuznekoff & Rose, 2013); pemain bersuara perempuan yang menyesuaikan diri dengan stereotip gender lebih cenderung menerima permintaan pertemanan mereka (Holz Ivory, Fox, Waddell, & Ivory, 2014). Selain itu, survei online dan wawancara dengan para gamer memberikan bukti bahwa para pemain wanita secara tidak proporsional menjadi sasaran pelecehan seksual (Assunçã; Behm-Morawitz & Schipper, 2016; Brehm, 2013; Cote, 2017; Rubah & Tang, 2016). Dengan demikian, wanita cenderung menjadi target pelecehan seksual dalam video game online dan juga akan lebih jarang melakukannya dibandingkan pria.

Pelecehan seksual ini sering kali dipicu oleh ketidakmampuan mereka untuk mengelola faktor-faktor perilaku dan lingkungan yang mereka hadapi, serta kurangnya kesadaran akan dampak negatif dari tindakan mereka terhadap korban. Pelecehan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan bermain tetapi juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius, seperti stres, kecemasan, dan trauma berkepanjangan. 

PENUTUP

Pelecehan seksual dalam game online, terutama yang dilakukan secara verbal, seringkali berakar dari kurangnya pengendalian diri pada pelaku. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi, dorongan, dan impuls negatif mendorong individu untuk melakukan tindakan yang melanggar norma sosial dan merugikan orang lain. Anonimitas yang ditawarkan oleh dunia online semakin memperkuat perilaku ini, karena pelaku merasa terbebas dari konsekuensi langsung atas tindakan mereka. Korban pelecehan seksual dalam game online seringkali mengalami trauma psikologis yang signifikan. Dampaknya dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk penurunan kepercayaan diri, isolasi sosial, dan bahkan gangguan kesehatan mental. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya self control, baik melalui pendidikan, intervensi psikologis, maupun pengembangan mekanisme pelaporan dan pencegahan yang lebih efektif dalam platform game online.

DAFTAR PUSTAKA

Goldfried dan Merbaum, Behavior Change Through Self-Control (Oxford: APA, 1973).

John C. Mc Mullen, A Test Of Self-Control Theory Using General Patterns Of Deviance (Blacksburg, Virginia, 1999), 21.

(n.d.). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Game online adalah suatu jenis permainan yang dimainkan dalam suatu jaringan. Retrieved August 25, 2024, from https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14258/1/T1_462012099_BAB%20I.pdf

Hamid, I. A., & UNIKOM. (n.d.).

HUBUNGAN SELF CONTROL DAN PELECEHAN SEKSUAL DI RUANG LINGKUP UNM •. (2021, December 26). Estetika Pers. Retrieved August 25, 2024, from https://estetikapers.com/hubungan-self-control-dan-pelecehan-seksual-di-ruang-lingkup-unm/

SKRIPSI HUBUNGAN SELF-CONTROL DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA DI SMKN 7 MAKASSAR OLEH: PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWAT. (n.d.). Repositori STIK Stella Maris Makassar. Retrieved August 25, 2024, from http://repository.stikstellamarismks.ac.id/265/1/Bab%201.pdf

Tjahjadi, L. S., & Universitas Multimedia Nusantara. (n.d.). Pola Komunikasi Interpersonal. https://kc.umn.ac.id/id/eprint/25858/3/BAB_I.pdf

Ferdina, V. (2019). Penegakkan Hukum Terhadap Pelecehan Seksual Melalui Teknologi Informasi (Cyber) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Jurnal Panorama Hukum, 4(2), 89-101.

Marsela, R. D., & Supriatna, M. (2019). Konsep diri: Definisi dan faktor. Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice, and Research, 3(02), 65-69.

Zulfah, Z. (2021). Karakter: Pengendalian Diri. Iqra: Jurnal Magister Pendidikan Islam, 1(1), 28-33.

Syam, K. F., & Andriani, I. (2024). PENGARUH ANONIMITAS TERHADAP CYBERBULLYING PADA PENGGUNAAN VOICE CHAT DI ANTARA PEMAIN GAME ONLINE. Arjwa: Jurnal Psikologi, 3(2), 113-127.

Tang, W. Y., Reer, F., & Quandt, T. (2020). Investigating sexual harassment in online video games: How personality and context factors are related to toxic sexual behaviors against fellow players. Aggressive behavior, 46(1), 127-135.

Sexual Violence in Childhood and Its Link to Hormones Cortisol: Influence and Impact on the Victim’s Body Response

Miranda Yasmine Prianto, Putri Andini, Anggrina Aufa Ainahaq

Faculty of Psychology, Mercu Buana University

ABSTRACT

Trauma resulting from sexual violence often leaves deep scars, not only psychologically but also physiologically. One of the physiological aspects that is affected is the immunological system, which is influenced by the hormone cortisol. This hormone is known as the “stress hormone” and has an important role in the body’s response to stress. This study aims to evaluate the effect of the hormone cortisol on the immunological system in individuals who have experienced trauma due to sexual violence. Through a biopsychological approach, we examine changes in cortisol levels and post- traumatic immunological responses. The methods used include literature analysis and case studies. The results of the study showed that there was an increase in cortisol levels which had an impact on decreasing immunological function. These findings provide insight into the importance of stress management and psychological interventions to minimize the negative impact on the immunological system of victims of sexual violence.

Keywords: sexual violence, post-traumatic, immunological, biopsychological, cortisol hormone, stress.

INTRODUCTION

Sexual violence is a traumatic event that often leaves psychological and physical impressions on the victim. In the long term, this trauma has effects not only on mental and emotional health, but also on physical health, such as the immune system. In recent decades, research has shown that psychological trauma, including trauma caused by sexual violence, can change the endocrine system, or the network of glands that produces and releases hormones. Ultimately, this impacts the immune system. The hormone cortisol, which is often referred to as the stress hormone, plays an important role in the body’s response to stress, indicating a complex relationship between stress and immunity.

Komnas Perempuan reports that an average of 35 women become women victims of sexual violence in Indonesia every day. Nearly 70% of cases of violence against women, both fatal and non-fatal, are committed by partners or family members. This article was created to study how the hormone cortisol affects the human immune system after sexual trauma. We will study how cortisol, as a biochemical mediator of stress, can regulate the body’s immune response and help alter immunological homeostasis. This article will provide insight into how cortisol interacts with the immune system in the recovery and long-term health of sexual assault survivors through a thorough literature review.

Based on the information presented, this article aims to review various studies that have been carried out to understand the biological and psychological mechanisms underlying changes in the immune system post-traumatic humans due to sexual  violence.

WHAT IS SEXUAL VIOLENCE?

According to the World Health Organization (WHO), sexual violence is defined as any action carried out with the aim of obtaining sexual activity through coercion, regardless of the relationship status of the perpetrator and the victim (Anwar, 2018). Sexual violence can take the form of verbal or non-verbal behavior that causes pain, failure, or deficiencies in sexual life. Sexual violence can occur between children and children, between adults and children, or between adults and adults. Sexual violence can cause trauma to the victim, which can cause abnormal behavior and anxiety (Rahmansyah et al., 2022).

Like other forms of abuse, child sexual abuse is characterized by complex manipulation and coercion by the perpetrator and unequal, power- based relationships built on exploiting and exploiting vulnerabilities. This includes physical contact or non-contact activities that have a sexual connotation. The first includes intercourse, attempted intercourse, or oral-genital contact with the penis, fingers, or any object, masturbation, and fondling of the genitals or other sensitive areas through clothing or in person. This means forcing a child to participate in adult sexual pleasure (such as sexual abuse and prostitution) or exposure children in adult sexual activities such as pornography, voyeurism, and exhibitionism (Putnam et al., 2013).

THE CONNECTION WITH HORMONE CORTISOL

The cortisol hormone is a hormone related to the body’s response to stress and is produced by the adrenal glands. The hormone cortisol is released by the adrenal glands when a person is dealing with stress or what is often 

referred to as a stress indicator. However, if hormone levels are too high in response to stress it can be dangerous for a person (Fithriany et al., 2020).

Exposure to cortisol which  prolonged and chronic inflammatory responses can lead to oxidative stress and DNA damage at a young age. In this case, Atabay & Arman (2019) found that children who experienced sexual abuse had significantly higher oxidative stress index (OSI) values compared to an age/ gender-matched control group. 

The impact of childhood abuse on responsiveness human platelet antigen (HPA) phasic and tonic in women with stress-related disorders who have experienced abuse by measuring saliva cortisol and hair cortisol. Decreased regulation of salivary cortisol, measured at 4 different time points during the idiographic trauma (phasic-acute stress) interview, was found in the group that had experienced childhood abuse versus the control group. On the other hand, groups that have experienced harassment in the past children had higher levels of hair cortisol compared with the control group, indicating increased levels of chronic stress in victims who had experienced childhood abuse. To interpret this apparent paradox, it can be considered that childhood abuse destabilizes the regulation of the HPA axis to make it less reactive to acute stressors while delaying its activation, which explains the high levels of cortisol in hair (Lo lacono et al., 2021).

A study by Bublitz and Stroud (in Lo lacono et al., 2021) found that pregnant women with a history of childhood abuse had significantly higher pre pregnancy body mass index (BMI), greater anxiety symptoms, and increased increased salivary cortisol response (an indicator often associated with psychological stress) during pregnancy compared to women without        a history of childhood abuse.

Meanwhile, a study from Hulme  (in Lo lacono et al., 2021) also shows that changes in cortisol secretion in individuals who suffered abuse in childhood are a factor that contributes to the risk of obesity in adults.

CONCLUSION

Violence sexual at the time children have that impact deep, both psychologically and physiologically, especially related to the cortisol hormone system and the victim’s body response.

Research shows that victims of sexual violence tend to have higher levels of cortisol, which can indicate high levels of chronic stress. In addition, trauma resulting from sexual violence can also affect the victim’s immunological system through changes in the cortisol hormone response, which in the end can cause a decrease in immunological function. Therefore, stress management and psychological interventions are important in helping victims of sexual violence overcome the negative impact on their physical and mental health.

Childhood sexual abuse is not a tragedy stuck in the past. The impact of the trauma continues to haunt the victims and rob them of their sense of security and health. Collective and comprehensive efforts, including stress management and psychological interventions, are needed to help survivors heal hidden wounds and rebuild their lives.

REFERENCE

Putnam, K. T., Harris, W. W., & Putnam, F. W. (2013). Synergistic Childhood Adversities and Complex Adult Psychopathology. Journal of Traumatic Stress, 26, 435-442. DOI: 10.1002/jts.21833.

Atabay, E., & Arman, AR (2019). Oxidative Stress in Children with Sexual Abuse May Be Elevated and Correlate with History of Psychiatric Treatment: A Cross-Sectional Case-Control Study. Psychiatry and Behavioral Sciences 2019;9(3):102-111.


Rahmansyah, RA, Nabillah, N., Nurjanah, AS (2022). Legal Action Against Children as Victims of Sexual Abuse Perpetrated by Herry Wirawan. Indonesian Journal of Social Science, Vol. 3, no. 6, June 2022.

Fithriany., Yuniwati, C., Dewi, S., & Harahap, LKS (2022). The Effect of Psychoeducation on Cortisol Hormone Levels in Target Mothers with Postpartum Depression in the Langsa City Health Service Work Area, 2020. Journal of

GAMBARAN STRESS AKADEMIK PADA MAHASISWA BARU PSIKOLOGI

Kelompok 1

Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentu membawa tantangan dan tuntutan yang semakin besar bagi individu. Menjadi mahasiswa di perguruan tinggi menghadapkan seseorang pada hal-hal baru yang tidak biasa dialami sebelumnya, yang dapat menimbulkan stres. Sistem pendidikan, beban studi, tugas-tugas yang menumpuk dengan batas waktu yang singkat, kerumitan mata kuliah, dan berbagai faktor lainnya dapat menyebabkan stres akademik pada mahasiswa. Stres akademik adalah stres yang berhubungan dengan proses menjalani kegiatan pendidikan, yang terjadi selama masa pendidikan dan disebabkan oleh tuntutan yang muncul selama periode tersebut. Stres ini terjadi ketika seseorang mengalami ketegangan emosional akibat kegagalan dalam memenuhi tuntutan tersebut (Thawabieh dan Naour, 2012).

Stres akademik sebenarnya merupakan hal yang normal terjadi karena stres akademik adalah bagian dari perkembangan diri. Hal ini termasuk menyesuaikan diri dengan tatanan sosial baru, mendapatkan peran dan tanggung jawab baru sebagai mahasiswa, menghadapi beban belajar dan konsep-konsep pendidikan yang berbeda dengan masa sekolah sebelumnya, beban akademik yang tinggi, belajar mengatur masalah keuangan, ketidakmampuan dalam manajemen waktu, harapan dan tantangan terhadap pencapaian akademik, perubahan gaya hidup dari masa sebelumnya, dan perkembangan konsep diri (Regehr, Glancy, dan Pitts, 2013).

Sebagai mahasiswa baru, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Yaitu, sebagai mahasiswa baru menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang ada di perguruan tinggi dengan lebih mandiri dan menuntut dengan pemikiran kritis beserta fakta yang ada tentunya hal ini berbeda dengan pendidikan sebelumnya yang ada di SMA maupun SMK. Mahasiswa harus bisa memahami dan menguasai yang bersifat abstrak dan teoritis, dan juga mahasiswa baru merasakan pressure untuk berprestasi baik dari internal (dirinya sendiri) maupun dari eksternal (orang tua dan lingkungan sosial) yang mengharapkan hasil akademik yang baik. Tentunya stres yang dialami oleh setiap orang berbeda-beda, dan jenisnya juga bervariasi antar individu. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya yang berkontribusi terhadap stress akademik, yaitu perubahan dalam lingkungan sosial. ketika masuk ke dalam perguruan tinggi, mahasiswa seringkali harus beradaptasi dengan lingkungan baru, mereka perlu membangun relasi sosial dengan orang sekitar yang terkadang hal tersebut tidaklah mudah dilakukan oleh banyak individu. Selain itu, tuntutan akademik semakin tinggi maka dapat mengurangi waktu untuk bersosialisasi ataupun kegiatan yang dapat mengurangi stress, yang pada akhirnya bisa memperburuk kondisi stress tersebut.

Pada dasarnya stres akademik merupakan hal yang normal, terlebih bagi mahasiswa baru yang masih beradaptasi dengan lingkungan pendidikan dan pertemanannya. Tingkat stress yang dialami oleh setiap mahasiswa baru tentu juga berbeda, tergantung pada bagaimana cara setiap individu untuk merespon stressor yang muncul pada dirinya. Ada banyak cara ataupun koping yang dapat dilakukan oleh mahasiswa baru untuk mengatasi ataupun mengurangi tingkat stress yang dialaminya, seperti dengan berolahraga, membaca, traveling, dan melakukan kegiatan-kegiatan serupa yang dapat menyalurkan energi-energi negatif yang ada. Mahasiswa yang memiliki coping mechanism yang baik akan cenderung lebih mudah dalam mengatasi stress ataupun kecemasan. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak memiliki coping mechanism yang baik akan cenderung mengalami stress atau kecemasan yang lebih tinggi. Bentuk coping stress yang dilakukan oleh mahasiswa baru tentu akan menentukan seberapa jauh langkah mereka selanjutnya dan seberapa baik mereka dapat mengatasi stress yang dialaminya (Negi, Khanna, & Aggarwal, 2019).

REFERENSI

Agustiningsih, N. (2019).Gambaran Stres Akademik dan Strategi Koping pada Mahasiswa Keperawatan. Jurnal Ners dan Kebidanan, 6 (2), 241–250.

Friedlander, L. J., Reid, G. J., Shupak, N., & Cribbie, R. (2007). Social support, self-esteem, and stress as predictors of adjustment to university among first-year undergraduates. Journal of college student development, 48(3), 259-274.

Mulya, H. A., & Indrawati, E. S. (2016). Hubungan antara motivasi berprestasi dengan stres akademik pada mahasiswa tingkat pertama Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Jurnal Empati, 5(2), 296-302.

Negi, A. S., Khanna, A., & Aggarwal, R. (2019). Psychological health, stressors and coping mechanism of engineering students. International Journal of Adolescence and Youth, 24(4), 511-520.


Resiliensi Strawberry Generation Menggali resiliensi dalam generasi stroberi: Mengatasi Tantangan dan Berkembang di era Modern

Oleh 

Nabila Az Zahra, Krisensio Thomas Amara Seta, Silmi Naimah Fadillah

Menggali Resiliensi dalam Generasi Stroberi di Era Modern

Di antara banyak perubahan perubahan telah terjadi di era modern ini, telah muncul sebuah fenomena yang menggambarkan karakteristik generasi muda masa saat ini. Mereka seringkali disebut sebagai Generasi Stroberi, sebuah sebutan yang menggambarkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, sebagaimana karakteristik dari buah stroberi itu sendiri yang mudah lembek ketika dihadapkan pada tekanan atau perubahan suhu. Berbagai Tantangan dari segala aspek kehidupan, mulai dari teknologi hingga lingkungan sosial, seringkali menguji ketahanan mental dan emosional generasi muda saat ini.

Namun demikian, di balik stigma tersebut, Generasi Stroberi juga memiliki potensi besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang tangguh dan berdaya. Dari tekanan akademis hingga hambatan dalam karier, dari perubahan budaya hingga tekanan media sosial, Generasi Stroberi dihadapkan pada berbagai kompleksitas yang membutuhkan ketangguhan batin dan mental yang kuat. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang bagaimana resiliensi dapat ditemukan dan dikuatkan dalam Generasi Stroberi, serta bagaimana mereka dapat mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi di era modern ini.

Fenomena dan Penyebab Munculnya Istilah Generasi Stroberi

Strawberry Generation merupakan sebuah istilah neologisme dari bahasa tionghoa yang diberikan sebagai julukan bagi generasi yang lahir setelah tahun 1990. Generasi ini dianggap sebagai generasi yang gampang mengkerut seperti strawberry, dan tidak tahan akan tekanan sosial dan tidak dapat bekerja sekeras generasi orangtua mereka (Hia, L. J. dkk, 2023). Strawberry sendiri digambarkan sebagai buah semu, yang artinya bukan buah yang sebenarnya, begitupun “strawberry generation” yang digambarkan sebagai generasi yang memiliki mental semu atau mental yang seharusnya tidak dimiliki oleh generasi tersebut (Fauzi & Tarigan, 2023). Dalam bukunya yang berjudul “Strawberry Generation”, Prof. Rhenald Kasali menjelaskan bahwa generasi yang hebat merupakan generasi yang selalu memiliki mindset positif terhadap masa depan, sedangkan strawberry generation sendiri merupakan generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan mudah sakit hati. 

Tentu ada berbagai penyebab dari munculnya istilah dan stereotip mengenai strawberry generation di tengah masyarakat. Prof. Renald Kasali (2018), menjabarkan bahwa salah satu analisis mengapa fenomena strawberry generation dapat muncul adalah karena cara orangtua mendidik. Menurut Prof. Renald Kasali arahan dan bimbingan dari orang tua merupakan hal yang paling penting dalam mendidik generasi strawberry ini, dimana keterlibatan orangtua merupakan salah satu bentuk partisipasi orangtua dalam pendidikan dan kehidupan anak. Pada fenomena strawberry generation ini, orangtua cenderung memanjakan anaknya dan terkadang terlalu overprotective terhadap anak. Kecenderungan orang tua dalam membesarkan anaknya dengan kehidupan yang lebih sejahtera membuat mereka dengan mudah memanjakan anak. Selain itu, kekhawatiran dan larangan berlebih yang ditunjukkan oleh orangtua turut membentuk anak-anak pada generasi ini tumbuh sebagai anak yang penakut (Kasali, 2018). Menurut Prihatina (dalam Siregar, 2023), ketidaktepatan pola asuh orangtua ini berpotensi mengembangkan anak sebagai individu dengan kepribadian yang lemah, baik secara mental maupun fisik.

Generasi Stroberi, sering mendapatkan stigmatisasi sebagai generasi muda yang mudah menyerah, memiliki potensi besar untuk menjadi individu tangguh dan berdaya. Dengan membangun resiliensi melalui mindset positif, kemampuan problem solving, komunikasi interpersonal, support system yang kuat, dan berani keluar dari zona nyaman, mereka dapat mengatasi berbagai tantangan dan berkontribusi positif bagi masa depan. Stigma ini bukan penghalang, melainkan motivasi untuk menunjukkan kemampuan mereka dan mencapai hal-hal luar biasa.

Referensi : 

Fauzi, F. I., & Tarigan, F. N. (2023). Strawberry Generation: Keterampilan Orangtua Mendidik Generasi Z. Jurnal Consulenza: Jurnal Bimbingan Konseling dan Psikologi, 6(1), 1-10.

Hsin-Huang, M., & Hsiao-Chen, S. (2015). “The Strawberry Generation: A Sociological Study of Youth in Taiwan.” Journal of Youth Studies, 18(4), 567-583. doi:10.1080/13676261.2014.992314

Hia, L. J., Angelina, C., & Santosa, M. (2023). KEPEMIMPINAN KRISTEN DI ERA DIGITAL TERHADAP GENERASI STRAWBERRY. TEOLOGIS-RELEVAN-APLIKATIF-CENDIKIA-KONTEKSTUAL, 2(1), 118-133.

Kasali, R. (2018). Strawberry Generation. Mizan.

Siregar, A. P. (2023). TERAPI POLA ASUH ISLAMI DALAM MEMPERKUAT KARAKTER REMAJA STROBERI (Strawberry Generation). Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Islam, 1(1), 48-64.

BISAKAH ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA MENJADI PRIBADI YANG PRODUKTIF?

Disusun Oleh

Shofalia Azzahra, Najwa Karomi, Salwa Aulia Safitri, Salsabila Latifah, Nadya Talitha Ulayya.

Universitas Mercu Buana

Introduction

Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), kerap kali dipandang sebelah mata dan terpinggirkan dari lingkup sosial. Namun, di balik rintangan tersebut, segelintir harapan terus menerangi jalan mereka melalui upaya pemberdayaan. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa ia akan mengalami disfungsi dalam dirinya dan juga kesehariannya, sehingga dapat menghambat produktivitasnya. Pemberdayaan sendiri merupakan suatu usaha untuk mengembangkan motivasi, kemampuan, serta membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini diharapkan mereka dapat berkembang secara berkelanjutan dan mencapai kemandirian secara konstan. Program pelatihan keterampilan dapat diselenggarakan untuk memberdayakan ODGJ, berguna untuk mengembangkan keterampilan yang relevan dengan dunia kerja, seperti keterampilan sosial, keterampilan kerja, dan keterampilan hidup sehari-hari.

Apa yang dilakukan Orang Dengan Gangguan Kejiwaan dalam Pemberdayaan? Orang dengan gangguan kejiwaan dalam pemberdayaan di rumah sakit jiwa diberikan berbagai kegiatan yang produktif dengan tujuan mengembangkan kemampuan mereka sebagai bekal beraktivitas kembali di lingkungan sosial. Ada berbagai kegiatan yang diberikan yang dapat dilakukan, seperti kegiatan seni melukis atau Art Therapy Melukis Bebas sebagai kegiatan terapeutik yang dapat membantu mengurangi gejala halusinasi, karena saat kegiatan tersebut berlangsung para pasien mengurangi interaksi dengan orang lain dan fokus dengan dunianya sendiri yaitu mengeluarkan pikiran dan perasaan, jadi memberikan mereka hiburan dan mengalihkan perhatian dari halusinasi. Kegiatan lainnya yaitu pelatihan membuat kerajinan anyaman bambu, menjahit, membuat boneka.

Pandangan Psikologi

Menurut Teori Sosial (Social Learning Theory), yang dimana teori ini menekankan pada proses pembelajaran melalui interaksi sosial dan pengaruh lingkungan. Dalam konteks pemberdayaan SDM ODGJ, teori ini menyoroti pentingnya model peran positif, dukungan sosial, dan lingkungan inklusif dalam membentuk identitas dan kemandirian mereka. Dukungan Sosial Untuk Orang Dengan Gangguan Jiwa di RSJ dapat membuat ODGJ merasa didukung oleh staf, pasien, dan keluarga mereka. Ini dapat memberi mereka rasa aman dan kepercayaan diri untuk memulai pemulihan dan kemandirian. Selain itu, program dukungan kelompok dan layanan konseling dapat memberi ODGJ platform untuk saling mendukung dan berbagi pengalaman. Dukungan sosial yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan mental pasien, meningkatkan ketahanan terhadap stres, dan dapat membantu memulihkan kondisi pasien. Adapun bentuk pertolongan yang dapat diberikan pada orang dalam gangguan jiwa, yaitu yang berkaitan dengan dukungan nyata bisa didapatkan meliputi instrumental support (berupa bantuan secara materi dan pemindahan), information support (berupa anjuran atau arahan yang berhubungan dengan penanganan kesehatan mental), affiliative support (berupa dorongan atau dukungan dari sahabat maupun teman yang sebaya), emotional support (dorongan untuk lebih senang atau sejahtera), treatment (pertolongan yang dalam bentuk terapi khusus). Teori Social Learning menekankan pada pembelajaran yang sering terjadi melalui interaksi sosial. Dengan demikian, dukungan sosial dan keikutsertaan dalam kelompok dukungan atau program-program terapi kelompok di RSJ dapat menjadi sarana penting untuk pemberdayaan ODGJ. Melalui interaksi dengan sesama ODGJ dan staf yang terlatih, mereka dapat saling mendukung, berbagi pengalaman, dan memperoleh keterampilan baru untuk mengelola kondisi mereka.

Kemudian, beberapa aktivitas yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas mereka, yakni menyalurkan potensi atau hobi yang mereka miliki dengan cara membuat karya seni dan kerajinan, seperti melukis, menggambar, merajut, menjahit, memasak, gardening, bermain alat musik, menyanyi, dan lain sebagainya.

Pada Teori sosial learning ini sangat bermanfaat dalam pemberdayaan orang dengan gangguan jiwa yang dimana pada teori ini dapat membantu mereka dalam mengembangkan baik dari keterampilan, kepercayaan diri, maupun dari startegi coping. Mereka dapat belajar keterampilan sosial yang efektif dengan cara mereka dapat meniru perilaku positif dari orang lain, seperti konselor, terapis, atau bahkan rekan sebaya yang sudah berhasil dalam menangani gangguan mereka. Selain itu mereka dapat meningkatkan rasa kepercayaan diri dan self-efficacy seperti penguatan positif, orang dengan gangguan jiwa dapat meningkatkan rasa percaya

diri mereka dan memiliki keyakinan bahwa mereka mampu menangani masalah atau tantangan yang akan mereka hadapi dan juga vicarious reinforcement yang dimana mereka dapat melihat orang lain dihargai atau mendapatkan hasil positif dari perilaku orang tersebut dan itu dapat memotivasi orang dengan gangguan jiwa untuk menerapkan perilaku tersebut dengan serupa. Manfaat lainnya dari teori sosial learning ini juga terdapat pada pembelajaran kognitif dan perilaku adaptif seperti strategi coping, pada strategi coping ini orang dengan gangguan jiwa dapat belajar bagaimana cara untuk menangani gejala mereka, seperti teknik relaksasi, manajemen stress, dan juga cara berpikir positif. Selain itu juga mereka dapat meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas yang bermanfaat seperti pengembangan pada hobi dan minat baru, pada pengembangan hobi dan juga minat ini dapat memotivasi mereka untuk mencoba hal-hal baru yang mungkin akan meningkatkan kesejahteraan mereka seperti seni melukis, merajut, memasak, bernyanyi, dan lain sebagainya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari teori sosial learning ini dalam pemberdayaan, orang dengan gangguan jiwa akan mendapatkan sebuah keterampilan, kepercayaan diri, dan juga strategi coping yang dapat mereka butuhkan untuk kehidupan yang lebih mandiri dan juga produktif.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sering kali mengalami diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat. Namun, melalui upaya pemberdayaan, harapan bagi mereka untuk menjalani hidup yang lebih baik tetap ada. Dapat dikatakan orang yang memiliki gangguan kejiwaan juga bisa berkarya. Mereka juga dapat mengembangkan kreativitas yang tinggi dengan melakukan berbagai kegiatan, seperti melukis, menjahit, memasak, serta menghasilkan produk yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Dianah, Ilfi. 2022. Pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dalam Meningkatkan Pendapatan Melalui Kreativitas Kerajinan Tangan (Studi Pada

Posyandu Gesang Jiwa Desa Mlaten Puri Mojokerto). Diss.

Puspitosari, W. A., Wardaningsih, S., & Abdurrahim, A. 2020. Pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa (Ogdj) Melalui Usaha Obah (Omah Buah Barokah) Untuk Meningkatkan Kemandirian Dan Produktivitas. Abdimas Altruis: Jurnal

Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(1), 16-21.

Nanang, K. A., & Ayuni, I. D. L. 2023. Penerapan Art Therapy Melukis Bebas untuk Meningkatkan Kemampuan Pasien Mengontrol Halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang. Jurnal Keperawatan Sisthana.

Analisis Pasien Skizofrenia: Dominasi Laki-Laki di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan

 Kelompok 1

Anggrina Aufa Ainahaq, Nasywandaru Subhaningtyas, Annisa Nur Hidayati, Sekar Indah Taofikqurohmah, Hanabela Nadya Hukama, Naira Ahlika, Dinda Amelia Maharani, Tia Dasmawati, Mela Sabrina Gozeynova, Ramaidah Sembiring.

Psikologi, Universitas Mercu Buana.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pasien skizofrenia di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, dengan penekanan khusus pada dominasi laki-laki sebagai pasien skizofrenia. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti usia, pekerjaan, status ekonomi, dan pola asuh keluarga memiliki peran signifikan dalam timbulnya skizofrenia pada laki-laki. Pasien skizofrenia di rumah sakit ini umumnya berusia antara 18 hingga 60 tahun, dengan mayoritas belum menikah dan banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Temuan ini mengindikasikan bahwa laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami skizofrenia dibandingkan perempuan. Beberapa penyebab yang mungkin mendasari perbedaan ini termasuk perbedaan hormonal dan tekanan sosial yang lebih besar pada laki-laki. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam dan menjadi dasar bagi pengembangan kebijakan kesehatan mental yang lebih baik di masa depan.

Pendahuluan

Sebagai seorang manusia, sehat merupakan kondisi prima yang utama untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya, baik dari segi fisik maupun mental sehingga dapat melakukan aktivitas hidupnya dengan baik. (Wa Ode Gina Aldasari Aliry, 2019) Pastinya, setiap manusia akan berusaha menjaga untuk tetap sehat dan dapat terhindar dari berbagai masalah kesehatan, seperti gangguan jiwa.

Secara umum gangguan jiwa merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami perubahan fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu atau hambatan dalam melaksanakan peranan sosial nya. Faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa pada tiap individu akan berbeda-beda, tergantung kepada jenis gangguan yang dialami. Menurut World Health Organization, satu dari empat orang di dunia akan menderita gangguan jiwa dan saraf pada suatu titik di seumur hidupnya. Sekitar 450 juta orang di dunia menderita kondisi ini dan menjadikan gangguan jiwa sebagai penyebab umum disabilitas di dunia. (World Health Organization, 2001) Data dari Riskesdas oleh Kementerian Kesehatan RI 2013 menyatakan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan mencapai 6% dari jumlah penduduk Indonesia, atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1000 penduduk. (World Health Organization, 2018).

Berbagai faktor baik biologis, psikologis, maupun sosial berkontribusi terhadap perbedaan prevalensi gangguan mental antara laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih rentan mengalami berbagai gangguan kejiwaan dibandingkan perempuan. Gangguan yang sering ditemukan pada laki-laki antara lain depresi, kecemasan, skizofrenia, gangguan bipolar, dan gangguan spektrum autisme. Perbedaan hormon antara laki-laki dan perempuan diduga menjadi salah satu penyebab mengapa laki-laki cenderung lebih rentan mengalami gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan dapat terjadi pada laki-laki dengan rentan usia 15-35 tahun. Testosteron yang dominan pada laki-laki dapat meningkatkan risiko gangguan seperti skizofrenia dan gangguan bipolar. Sementara estrogen yang dominan pada perempuan memiliki efek neuroprotektif yang dapat mengurangi risiko gangguan mental. Studi epidemiologi telah secara konsisten menunjukkan bahwa laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan skizofrenia. Sebuah meta-analisis yang diterbitkan dalam jurnal “Schizophrenia Bulletin” pada tahun 2003 menemukan bahwa rasio insiden antara laki-laki dan perempuan adalah sekitar 1:4:1. setiap 10 kasus skizofrenia pada perempuan, terdapat sekitar 14 kasus pada laki-laki.

Laki-laki cenderung lebih sulit mengekspresikan emosi dan meminta bantuan terkait kesehatan mental. Hal ini disebabkan konstruksi sosial mengenai maskulinitas yang mengharuskan laki-laki untuk kuat dan mandiri. Kondisi ini dapat menyebabkan laki-laki cenderung memendam masalah kejiwaan dan enggan mencari perawatan. Tekanan sosial yang dihadapi laki-laki, seperti tuntutan menjadi pencari nafkah utama dan memiliki karir yang sukses, dapat meningkatkan stres dan risiko gangguan mental. Selain itu, budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai sosok yang harus selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan juga berkontribusi terhadap perbedaan prevalensi gangguan jiwa.

Pembahasan

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang masih menjadi masalah krusial di Indonesia. Meskipun penyebab pastinya masih belum sepenuhnya dipahami, namun ada perbedaan yang menarik dalam prevalensi skizofrenia antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik dari kondisi ini adalah adanya distorsi pada pikiran, persepsi, sosial, kesadaran diri dan perilaku serta efek yang tidak wajar dan tumpul. Kesadaran dan kemampuan intelektual umumnya terpelihara, namun ada kemungkinan untuk terjadi kemunduran kognitif. 

Perbedaan yang paling menonjol pada skizofrenia terhadap jenis kelamin adalah usia dimana puncak kemunculan penyakit terjadi. Pada perempuan, penderita skizofrenia banyak terjadi pada usia yang lebih tua dibanding pada laki-laki (DSM-5, 2013). Usia pertengahan dipenuhi tanggung jawab berat dan berbagai peran yang menyita waktu dan energi. jenis kelamin laki-laki lebih tinggi terkena skizofrenia dari pada perempuan (Yuliantika, Jumaini, 2013). Menurut Soejono, Setiati, dan wiwie (2000) laki-laki cenderung sering mengalami perubahan peran dan penurunan interaksi sosial serta kehilangan pekerjaan hal ini yang bisa menyebabkan laki- laki lebih rentan terkena masalah-masalah mental, termasuk depresi serta rasa kurang percaya pada kemampuan diri sendiri sehingga jumlah penderita gangguan jiwa pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Seseorang yang belum menikah besar kemungkinannya berisiko untuk mengalami skizofrenia dibandingkan dengan yang sudah menikah untuk pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku suami dan istri untuk tercapainya kedamaian serta perhatian dan kasih sayang adalah fundamental bagi pencapaian suatu hidup yang berarti dan memuaskan.

Penelitian di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien skizofrenia adalah laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami skizofrenia dibandingkan perempuan. Faktor-faktor seperti pekerjaan, status ekonomi, dan pola asuh keluarga juga berperan signifikan dalam timbulnya skizofrenia pada laki-laki. Pasien skizofrenia di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan umumnya berusia antara 18-60 tahun, belum menikah, dan banyak yang tidak bekerja. Mayoritas pasien berasal dari Banten menggunakan BPJS sebagai penjamin. Banyak pasien datang ke IGD, menunjukkan kondisi yang memerlukan penanganan segera.

Kesimpulan

Fenomena bahwa skizofrenia lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan adalah hasil dari interaksi kompleks antara faktor biologis, perkembangan, dan psikososial. Memahami perbedaan gender ini tidak hanya penting dari perspektif akademis, tetapi juga memiliki implikasi penting untuk pencegahan, diagnosa dini, dan pengembangan strategi pengobatan yang lebih personal dan efektif. Faktor-faktor seperti pekerjaan, status ekonomi, dan pola asuh keluarga berperan dalam timbulnya skizofrenia pada laki-laki. Karena pasien skizofrenia pada laki-laki ini umumnya berusia antara 18-60 tahun, belum menikah, dan banyak yang tidak bekerja. 

Daftar Pustaka

Amelia, D. R., & Anwar, Z. (2013). Relaps pada pasien skizofrenia. 

Depkes RI. (2006). Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas 

Pelayanan Kesehatan Dasar. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa. Jakarta.

Putri, Z. H., & Evi. (2023). Karakteristik demografi pasien skizofrenia rawat jalan di 

Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan.

Aleman, A., Kahn, R. S., & Selten, J. P. (2003). Sex differences in the risk of 

schizophrenia: evidence from meta-analysis. Archives of General Psychiatry, 60(6), 565-571.

World Health Organization. (2001, September 28). The World Health Report 2001: 

Mental Disorders affect one in four people. World Health Organization (WHO). Retrieved June 8, 2024, from https://www.who.int/whr/2001/media_centre/press_release/en/

Health Research and Development Agency. Basic Health Research. Natl Rep 2013. 

2013;1–384.Organization WH. WHO, 2018. 2019

Simbolon, M. J. (2013). Usia Onset Pertama Penderita Skizofrenik Pada Laki-Laki  dan Perempuan Yang Berobat ke Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara. 

Wa Ode Gina Aldasari Aliry, D. (2019). PASIEN LAKI-LAKI DI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SULAWESI TENGGARA; TINJAUAN ANTROPOLOGI KESEHATAN. Jurnal Kerabat Antropologi, 2.

Depkes RI. (2019). Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. 

Bipolar Disorder, Bisakah Terjadi Pada Anak?

Oleh 

Aqila Nashwa, Asifa Oktovia, Inna Indriyani, Febina Nabila Hapsari, Dini Fitri Anggrelayni, Karennisha Damita Widjanarko, Imelinda, Shan Aqillah, Feby Claudia Sihombing

Universitas Mercu Buana 

Pada kunjungan ke Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, beberapa waktu lalu, penulis tertarik dengan pasien di salah satu bangsal. Bangsal kolibri, yang menampung pasien anak-anak dan remaja. Penulis melihat dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Seorang anak perempuan berteriak kencang membaca surah Al-Fatihah dan takbir sejak awal kami memasuki bangsal. Namun, anak tersebut diam, kemudian tersenyum malu dan masuk ke ruangan perawat setelah melihat kami memasuki bangsal. Setelah itu dia keluar kembali dan tersenyum-senyum untuk mencari perhatian. Di saat yang bersamaan ada seorang anak laki-laki yang duduk terdiam dan merenung dengan tatapan kosong di depan ruang perawat. Penulis berpendapat bahwa kondisi kedua anak ini sesuai dengan simtom bipolar disorder. Tapi, apa itu bipolar disorder?

Apa Itu Gangguan Bipolar?

Gangguan Bipolar adalah salah satu jenis gangguan mental dengan jumlah penyintas terbanyak di dunia, dengan estimasi prevalensi yang bervariasi dari 0,3% hingga 1,4% yaitu dari daerah Papua Nugini hingga tertinggi di sebagian negara-negara Afrika, Australia dan negara-negara Skandinavia (IHME/The Institute for Health Metrics and Evaluation, 2019). Bipolar dikategorikan sebagai gangguan  mood, dimana penderita mengalami perubahan emosi yang sangat drastis. Dari maniak (sangat senang) hingga depresif (sangat terpuruk). 

Gangguan bipolar dimulai saat episode pertama yang sering terjadi saat usia remaja. Setelah fase pertama, biasanya diikuti fase yang berganti antara mood meninggi dan mood menurun dalam fase kekambuhan. Pada fase ini perlu penanganan yang tepat dan berkesinambungan untuk mengembalikan ke fase mood yang stabil dan normal.  Mempertahankan dalam fase rumatan agar terus dalam kesembuhan, tidak terjadi gejala subsyndromal bahkan kekambuhan. Bila fase ini tidak ditangani dengan baik maka penyakit akan menetap dan bertambah parah serta mengalami penurunan fungsi sehari-hari. Gangguan bipolar pada anak adalah kondisi yang mempengaruhi mood, energi dan kemampuan mereka untuk berfungsi sehari-hari. Dukungan dari keluarga, profesional kesehatan, dan lingkungan sekolah sangat penting dalam membantu mereka mengelola kondisi ini. Berdasarkan pengamatan kami, gejala ini sesuai dengan kedua anak yang kami lihat di bangsal kolibri, dimana diperkirakan remaja perempuan ini sedang berada pada fase manik yang ditandai dengan perilaku menurunkan kursi-kursi yang ada diatas meja dengan terburu-buru hingga membuat kami sedikit terdistraksi oleh suaranya. Dan anak perempuan ini juga mengganggu temannya hingga hampir bertengkar. Sedangkan remaja laki-laki yang diam dan termenung dengan tatapan kosong diperkirakan sedang dalam fase depresi. 

Penyebab Gangguan Bipolar pada Anak dan Remaja 

Menurut Jaya et.al (2013) terdapat faktor yang menjadi penyebab munculnya gangguan bipolar :

1. Faktor Genetik (Riwayat Keluarga)

Faktor genetik ini diperkirakan menyumbang sekitar 80% dari penyebab kondisi tersebut. Anak dengan anggota keluarga inti dengan gangguan bipolar lebih berisiko mengalami kondisi ini. Kemungkinan akan lebih tinggi apabila salah satu atau kedua orang tua mengalami kondisi tersebut.

2. Faktor Neurotransmitter pada Otak

Dalam jaringan neurotransmitter, terdapat tiga zat kimia penting, yaitu norepinefrin, serotonin, dan dopamin. Ketidakseimbangan pada neurotransmiter ini dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap gangguan mood seperti gangguan bipolar. 

3. Faktor Lingkungan

Stres, trauma, serta perubahan besar dalam hidup seseorang dapat memicu timbulnya gangguan suasana hati, terutama jika individu memiliki kecenderungan genetik untuk gangguan bipolar. Bahkan tanpa faktor genetik yang jelas, gaya hidup yang tidak sehat seperti penyalahgunaan obat-obatan atau masalah hormonal juga dapat menjadi pemicu gangguan bipolar.

4. Struktur dan Fungsi Otak 

Studi menunjukkan bahwa individu yang mengalami gangguan bipolar memiliki perubahan halus namun signifikan dalam struktur dan fungsi otak. Perubahan ini dapat terjadi sejak lahir atau berkembang seiring waktu, dan diyakini berperan dalam perkembangan gangguan bipolar.

Apakah Gangguan Bipolar bisa terjadi pada anak?

Faktanya, hasil analisis lanjutan yang dilakukan oleh Van Meter, A. L. R. Moreira, and E. A. Youngstrom (2011) menunjukkan persentase kejadian gangguan bipolar pada anak hanya sebesar 1,8%. Hal ini dikemukakan oleh Luby dan Belden (2006) dimana kriteria diagnosis gangguan bipolar pada anak kurang jelas sehingga diragukan validitasnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa gangguan bipolar sangat jarang terjadi pada anak-anak. Meskipun demikian, penerapan kriteria diagnostik gangguan bipolar pada anak-anak, khususnya anak-anak prasekolah, masih belum jelas dikarenakan indikator perilaku yang ditunjukkan pada anak-anak menunjukkan gejala yang beragam sehingga berpotensi terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis yang berujung pada pemberian obat atau terapi yang seharusnya tidak perlu (Youngstrom, dkk. 2005). Hal ini dikemukakan oleh Luby dan Belden (2006) dimana kriteria diagnosis gangguan bipolar pada anak kurang jelas sehingga diragukan validitasnya.

Jenis Gangguan Serupa yang Relevan dengan Gejala Bipolar pada Anak

Terdapat beberapa gangguan lain yang memiliki indikator perilaku seperti gangguan bipolar, seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) yang memiliki kemiripan pada perubahan mood yang cepat dan perilaku impulsif. Kemudian, terdapat juga kemiripan pada gangguan regulasi emosi disruptif (DMDD) yang sama-sama terjadi ledakan kemarahan yang mirip dengan fase manik dan depresif pada gangguan bipolar. Terakhir, juga terdapat kemiripan pada gangguan depresif mayor (MDD) dimana juga terdapat unsur mania dan hipomania yang bercampur dengan depresif. 

Penutup  

Penting untuk mengenali gejala bipolar sejak dini untuk mengelola kondisi ini dengan baik. Penanganan yang tepat dan dukungan berkelanjutan dari keluarga, profesional kesehatan, dan lingkungan sosial sangat penting untuk mencegah pemicu gangguan ini untuk timbul. Pengamatan di RSJ Soeharto Heerdjan menunjukkan bahwa gangguan bipolar dapat bermanifestasi berbeda pada setiap individu, sehingga diperlukan pendekatan yang personal dalam penanganannya. Dengan diagnosis yang tepat, intervensi yang efektif, dan dukungan berkelanjutan, penderita gangguan bipolar dapat menjalani kehidupan yang stabil dan bermakna.

Referensi 

J. Luby and A. Belden, “Defining and validating bipolar disorder in the preschool period,” Development and Psychopathology, vol. 18, no. 4, pp. 971–988, 2006.

National Institute of Mental Health (NIMH). Bipolar Disorder: Causes.

Ramadani, I. R., Fadila, A. N., Aulia, R., Khairiyyahni, S., & Lestari, W. (2024). Gangguan Bipolar pada Remaja: Studi Literatur. EDU SOCIETY: JURNAL PENDIDIKAN, ILMU SOSIAL DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT, 4(1), 1219-1227.

Renk, K., White, R., Lauer, B. A., McSwiggan, M., Puff, J., & Lowell, A. (2014). Bipolar disorder in children. Psychiatry journal, 2014(1), 928685.

Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Skizofrenia

Disusun Oleh:

Silmi Naimah Fadillah, Najwa Hanifah, Kanaya Azhara, Indah Maria, Sarah Valiziane Hidayat, Alma Amaliya Ulfa, Wafiq Azizah Samdoria, Marcella Febrianti, Nela Anandita.

Fakultas Psikologi, Program Studi Psikologi

Universitas Mercu Buana

Stigma merupakan sesuatu tindakan memberikan label sosial yang tujuannya untuk memisahkan seseorang individu atau sekelompok individu dengan pandangan yang buruk. Stigma sosial, yang seringkali melibatkan pelabelan negatif dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok dengan ciri-ciri atau kondisi kesehatan tertentu, masih menjadi hambatan besar bagi mereka yang mengalami gangguan mental, terutama skizofrenia. Hasil penelitian menyatakan bahwa masyarakat masih memberikan prasangka buruk dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, khususnya skizofrenia, mereka sering mendapat cemooh, dijauhi, diabaikan, dikucilkan dan dianggap aib di masyarakat. Masyarakat masih banyak yang beranggapan buruk terhadap orang penderita skizofrenia, masyarakat menganggapnya sebagai orang yang mengerikan, memalukan, menakutkan, dan aib yang harus disembunyikan. Sebagian warga juga masih ada yang melakukan diskriminasi seperti isolasi sosial (pengasingan), kekerasan dan bullying

Seringkali, stigma terhadap penderita skizofrenia menimbulkan berbagai pandangan negatif yang tersebar di masyarakat. Seseorang penderita skizofrenia sering dilabeli dengan kata-kata seperti “gila” atau “tidak waras”. Streotip bahwa orang dengan skizofrenia selalu berbahaya atau tidak dapat diprediksi tidak selalu benar. Mereka biasanya dihindari ditempat-tempat sosial seperti di rumah, sekolah, kampus dan tempat kerja. Karena stigma ini, penderita skizofrenia mungkin mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan atau layanan kesehatan yang memadai. Pemahaman buruk tentang  skizofrenia menyebabkan banyak orang takut berinteraksi dengan mereka. Penderita skizofrenia sering diisolasi dan dijauhi karena gagasan bahwa penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan atau selalu berakhir dengan kekerasan. Karena mereka takut akan reaksi negatif, mereka mungkin malu atau tidak nyaman untuk berbicara tentang kondisi mereka. Hal ini dapat menyebabkan mereka kurang percaya diri, serta tidak mau mencari bantuan medis.

Stigma terhadap skizofrenia berdampak negatif, baik secara psikologis maupun fisik. Penderita dapat mengalami peningkatan gejala dan penurunan kualitas hidup, serta kesulitan dalam mendapatkan perawatan medis. Stigma yang kuat seringkali menjadi penghalang bagi penderita untuk mencari pengobatan, dengan 50-60% menghindari perawatan karena takut akan stigma. Hal ini menghambat pemulihan, menurunkan kesadaran diri terhadap penyakit, dan berdampak pada kualitas hidup mereka. Oleh karena itu, upaya bersama untuk mengatasi stigma sangatlah penting.

Tak hanya bagi individu penderita skizofrenia, dampak dari stigma ini juga menimbulkan beban emosional, sosial, dan finansial bagi keluarga. Mereka harus menginvestasikan waktu dan energi yang signifikan untuk merawat anggota keluarga yang sakit, sambil menghadapi stigma yang menyebabkan isolasi dan rasa malu. Stigma ini juga menurunkan harga diri dan menghambat integrasi sosial keluarga. 

Penderita Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak hanya bergulat dengan penyakitnya, tetapi juga stigma dan diskriminasi yang melekat erat dalam masyarakat. Gejala gangguan jiwa yang terkadang memicu perilaku berbeda dari norma, seringkali disalah artikan sebagai tanda kelemahan, ketidakmampuan, bahkan potensi bahaya. Hal ini berakibat pada stigma dan diskriminasi yang tidak hanya menyakitkan, tetapi juga dapat memperburuk kondisi ODGJ. Oleh karena itu, upaya anti-stigma yang komprehensif dan melibatkan semua pihak sangatlah penting. Berbagai langkah strategis perlu dilakukan, seperti:

  • Mengedukasi masyarakat tentang gangguan jiwa, mendorong interaksi positif dengan ODGJ, dan menantang stereotip negatif yang keliru.
  • Memberikan edukasi yang komprehensif tentang gangguan jiwa, gejala, cara pengobatan, dan potensi pemulihan kepada pasien, keluarga, dan masyarakat umum.
  • Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan jiwa, termasuk layanan skrining, diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi, di berbagai tingkatan masyarakat.
  • Meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan jiwa oleh organisasi atau pemangku kepentingan yang berpengaruh, 
  • Program literasi untuk meningkatkan pemahaman tentang tanda dan gejala gangguan jiwa, pengobatan dan pengurangan stigma, 
  • Protes untuk menekan stigma dengan menolak dan tidak mengungkapkan apa yang terjadi, dan advokasi atas ketidakadilan struktural yang membatasi hak-hak dan kontak sosial (Stuart, 2016). 

Dengan memahami dampak serius stigma terhadap penderita skizofrenia dan keluarganya, menjadi jelas bahwa perubahan sikap masyarakat sangat penting. Edukasi yang tepat tentang gangguan jiwa khususnya skizofrenia diperlukan untuk menghilangkan stereotip negatif dan mendukung penderita dalam proses pemulihan mereka. Dengan usaha bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana penderita skizofrenia dapat hidup dengan martabat, mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan, dan berinteraksi secara positif dalam masyarakat. upaya anti-stigma ini tidak hanya akan memperbaiki kualitas hidup penderita skizofrenia, tetapi juga memperkaya kemanusiaan kita secara keseluruhan.

Setelah pemaparan informasi diatas, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang skizofrenia, hal ini dapat mengurangi prasangka dan stereotip negatif, harapan untuk lebih meningkatkan dukungan sosial kepada mereka yang menderita skizofrenia, agar mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan produktif setiap hari nya, masyarakat diharapkan untuk tidak lagi menyamakan skizofrenia dengan kekerasan karena orang dengan skizofrenia tidak lebih mungkin melakukan kekerasan daripada orang pada umumnya. Faktanya, mereka lebih sering menjadi korban kekerasan daripada pelaku. Selain itu, masyarakat juga diharapkan lebih terbuka dan inklusif, sehingga memungkinkan penderita skizofrenia untuk terintegrasi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Sarsilah, Agustina, M., & Herliana, I. (2024). Hubungan Stigma Diri dengan Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Kesehatan dan Keperawatan.

Mane, G., Kuwa, M. R., & Sulastien, H. (2022). Gambaran Stigma Masyarakat pada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ).

Aiyub. (2018). Stigmatisasi Pada Penderita Gangguan Jiwa: Berjuang Melawan Stigma dalam Upaya Mencapai Tujuan Hidup untuk Kualitas Hidup yang Lebih Baik. Idea Nursing Journal .

Putri, T. H., & Tania, F. (2023). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stigma Masyarakat Pada Penderita Skizofrenia di Kalimantan Barat. Jurnal Perawat Indonesia.

Daryanto, Heryani, E., Rohaida, & Sari, M. T. (2022). Edukasi Keluarga Dan    Masyarakat Dalam Upaya Mengatasi Stigmatisasi Gangguan Jiwa Di Desa Penyengat Olak Muaro Jambi. Jurnal Abdimas Saintika. 

H, Muljohardjono., & ID, Ariyani. (2019). Intervensi Untuk Mengurangi Stigma Pada Penderita Skizofrenia. Jurnal Psikiatri Surabaya

Badan Pengembangan Organisasi 2023/2024 Kabinet Nirvana

Badan Pengembangan Organisasi ?

Halo Nirvams! ?
Yuk kita kenalan dan lebih mengenal badan-badan di dalam HMF Psikologi UMB.

Koordinator Badan Pengembangan Organisasi :
Ica Tajudin

Staff Badan Pengembangan Organisasi :
1. Muhammad Fadhil:
2. Kanaya Azhara
3. Asifa Oktovia
4. Febina Nabila Hapsari
5. Nuno Rekso Rismono

Program Kerja :
1. Pemilihan Umum (PEMILU)
2. Musyawarah Besar (MUBES)
3. Leadership Outbound Psychology (LOP)
4. Pekan Raya Psikologi (PRP)
5. Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Dasar (LKMM TD)
6. PSY DAY

Badan Pengurus Harian 2023/2024 Kabinet Nirvana

Badan Pengurus Harian ?

Halo Nirvams! ?
Yuk kita kenalan dan lebih mengenal badan-badan di dalam HMF Psikologi UMB.

Ketua : Bayu Sasongko
Wakil Ketua: Mohamad Zahran Putra Kurniawan
Sekretaris 1: Nurul Khaira Fauziyyah
Sekretaris 2: Ananda Putri
Bendahara 1: Kayla Jasmine
Bendahara 2: Astia Putri Sutisna