Miranda Yasmine Prianto, Putri Andini, Anggrina Aufa Ainahaq
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana
ABSTRAK
lllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll
Kata Kunci: Pelecehan seksual, game online, self control, internet, remaja
PENDAHULUAN
Pelecehan seksual merupakan perbuatan, tindakan atau perhatian yang bernuansa seksual untuk memuaskan hawa nafsu seseorang baik dilakukan secara verbal maupun non-verbal yang membuat korban merasa terancam keamanannya, dipermalukan, diremehkan, dan direndahkan derajatnya menurut Suyanto (2010)
Pelecehan seksual menjadi fenomena yang meresahkan masyarakat, karena kejadian tersebut dapat terjadi dimana saja, seperti tempat kerja, jalanan, kendaraan umum dan bahkan di internet. Pelecehan seksual verbal di internet ini akan memberikan perasaan tidak nyaman, takut, hingga trauma kepada para korbannya. Dengan kata lain, pelaku pelecehan seksual verbal di internet telah merusak hak asasi korban sebab korban tidak dapat menggunakan internet dengan nyaman, aman, dan tidak terintimidasi oleh siapapun. Sebaliknya, para pelaku mendapatkan kepuasan psikis secara pribadi karena berhasil memenuhi nafsunya sekaligus memberikan rasa tidak aman dan trauma ke korban (Sanjaya & Wirasila, 2021, p. 96). Oleh karena itu, pelecehan seksual verbal di internet ini perlu menjadi perhatian khusus bagi setiap orang apalagi bagi kelompok rentan seperti remaja.
Adapun pelecehan seksual yang terjadi di dalam aktivitas sosial yang ada pada game online (Nursyafia, Amirulloh, & Muchtar, 2023). Kasus pelecehan seksual melalui game online terjadi pada sebelas anak usia 9-17 tahun. Pelaku merayu korban dengan menawarkan bantuan seperti membelikan “diamond” yang merupakan alat tukar yang harus dibeli dengan uang sehingga pemain bisa membeli barang apa saja yang ada di dalam game. Pelaku juga mengancam korban yang masih di bawah umur dengan menghapus game milik korban jika tidak mau mengikuti keinginan pelaku. Korban mengirimkan video yang menirukan adegan pornografi dan pelaku juga meminta korban untuk melakukan video call seks. Orang tua yang pertama kali menemukan bahwa anaknya dilecehkan segera melaporkan hal ini ke polisi (Aji, 2021). Pelecehan seksual verbal juga terjadi pada anak dan remaja di game online dalam lingkup ranah online
Self control dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur, membimbing, dan mengarahkan tindakan mereka menuju hal yang positif. Hal ini melibatkan kemampuan untuk memodifikasi perilaku, mengelola informasi yang tidak diinginkan, dan memilih tindakan berdasarkan nilai dan kepercayaan yang dimiliki. Self control melibatkan tiga konsep utama: kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih tindakan berdasarkan suatu yang diyakini.
Edukasi tentang self control sangat penting dalam mencegah pelecehan seksual. Dengan meningkatkan kesadaran dan kemampuan mengendalikan diri, individu dapat mengarahkan perilaku mereka ke arah yang lebih positif dan menghindari perilaku negatif seperti pelecehan seksual. Kurangnya self control pada pelaku pelecehan seksual seringkali membuat mereka merasa memiliki kekuasaan yang lebih atas korban. Hal ini dapat dipicu oleh kekurangan kemampuan mengendalikan emosi dan dorongan-dorongan negatif.
Berdasarkan informasi yang dipaparkan, artikel ini bertujuan untuk mengulas berbagai studi yang telah dilakukan untuk memahami pelecehan seksual dalam game online melalui lensa teori Self-Control.
PEMBAHASAN
Menurut Averill (Ghufron & Risnawati, 2011) self control adalah kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini. Pengertian yang dikemukakan oleh Averill menitikberatkan pada seperangkat kemampuan mengatur dalam memilih tindakan yang sesuai dengan yang diyakini nya.
Maka dapat disimpulkan bahwa self control adalah kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan perilakunya sesuai dengan standar moral, nilai, dan aturan sosial yang diyakini. Ini melibatkan kemampuan untuk memilih dan memodifikasi tindakan berdasarkan keyakinan dan informasi yang diperoleh, guna mencapai perilaku yang positif dan sesuai dengan norma sosial.
Dalam hal ini, pengendalian diri sangatlah berperan penting dalam kehidupan. Pengendalian diri yang terdapat pada dalam diri tidaklah sama, hal tersebut dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukannya. Pengendalian diri sebagai mediator psikologis dan berbagai perilaku. Kemampuan untuk menjauhkan dari perilaku yang mendesak dan memuaskan keinginan adaptif, orang yang memiliki pengendalian diri yang baik maka individu tersebut dapat mengarahkan perilakunya, sebaliknya jika individu yang memiliki pengendalian diri yang rendah akan berdampak pada ketidakmampuan mematuhi perilaku dan tindakan, sehingga individu tidak lagi menolak godaan dan impuls.
Pengendalian diri, yang umumnya digunakan untuk mengatur perilaku dalam interaksi sosial, juga memainkan peran penting dalam konteks online, khususnya dalam dunia game. Selain fungsinya dalam bersosialisasi secara langsung, pengendalian diri diperlukan untuk mengelola perilaku dalam lingkungan virtual yang sering kali kurang memiliki konsekuensi langsung. Pengendalian diri dalam lingkup game online tidak hanya penting untuk menjaga pengalaman bermain yang positif, tetapi juga untuk mencegah perilaku-perilaku negatif dan memastikan lingkungan yang aman bagi semua pemain.
Namun, ketika individu memiliki tingkat pengendalian diri yang rendah, tantangan dalam lingkungan game online dapat meningkat secara signifikan. Anonimitas yang sering kali ada dalam game dapat mengaburkan batasan sosial dan norma-norma, membuat individu lebih cenderung terlibat dalam perilaku negatif tanpa merasa terikat oleh konsekuensi langsung. Anonimitas tersebut akan memudahkan pelaku dalam melakukan tindak kejahatannya. Akibat dari sulitnya mendeteksi akun anonim ini mengakibatkan sebagian besar orang akan menggunakan anonimitas sebagai identitasnya dalam berinteraksi di media sosial.
Kompetisi dan keinginan untuk menunjukkan dominasi di dunia virtual juga dapat memperburuk masalah, mendorong individu dengan pengendalian diri yang rendah untuk melakukan tindakan yang melanggar norma sosial, seperti pelecehan seksual. Dalam hal ini individu merasa kurang bertanggung jawab atas tindakan mereka ketika tanggung jawab tersebar di antara banyak orang. Di lingkup game online, hal ini dapat memperburuk masalah pelecehan seksual, karena pemain mungkin merasa bahwa mereka tidak perlu bertanggung jawab untuk menghentikan atau melaporkan tindakan tersebut, mengandalkan asumsi bahwa orang lain akan bertindak. Anonimitas dalam game memperkuat efek ini, membuat pelaku merasa aman dari konsekuensi, sementara saksi dan korban mungkin merasa tidak ada yang akan membantu mereka, sehingga pelecehan lebih mungkin terjadi dan sulit dihentikan.
Selain itu, kurangnya konsekuensi nyata dari perilaku negatif dalam game dapat memperkuat kecenderungan untuk terlibat dalam tindakan pelecehan seksual. Menurut Winarsunu, pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktivitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
Di era digital, kekerasan seksual juga dapat terjadi di platform online, termasuk dalam game online, yang merupakan ruang interaksi virtual di mana pemain dari berbagai latar belakang berkomunikasi secara real-time. Dalam lingkungan ini, pelecehan seksual sering kali muncul dalam bentuk pelecehan verbal, ancaman, atau ajakan seksual yang tidak diinginkan. Pelaku dengan self control rendah mungkin tidak mampu menahan dorongan untuk melakukan pelecehan seksual, baik karena ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi maupun karena dorongan untuk mendapatkan kekuasaan atau kepuasan langsung dari perilaku mereka.
Contoh pelecehan seksual dalam video game online termasuk lelucon seksual, hinaan seksual, rayuan seksual yang tidak diinginkan, lelucon pemerkosaan, dan komentar tentang penampilan pemain wanita (Fox & Tang, 2013). Pelecehan seksual paling sering dilakukan oleh pria yang menargetkan wanita baik dalam konteks offline maupun online (Henry & Powell, 2016; Pina et al., 2009). Eksperimen lapangan dalam permainan video online di mana para peneliti berinteraksi dengan pemain anonim lainnya menggunakan pesan netral yang telah direkam sebelumnya mengungkapkan bahwa para pemain ini bereaksi tergantung pada jenis kelamin suara tersebut. Hasilnya adalah pemain bersuara perempuan menerima komentar negatif tiga kali lebih banyak daripada pemain bersuara laki‐laki dan pemain bersuara perempuan menerima lebih banyak dari pemain berketerampilan lebih rendah (Kasumovic & Kuznekoff, 2015; Kuznekoff & Rose, 2013); pemain bersuara perempuan yang menyesuaikan diri dengan stereotip gender lebih cenderung menerima permintaan pertemanan mereka (Holz Ivory, Fox, Waddell, & Ivory, 2014). Selain itu, survei online dan wawancara dengan para gamer memberikan bukti bahwa para pemain wanita secara tidak proporsional menjadi sasaran pelecehan seksual (Assunçã; Behm-Morawitz & Schipper, 2016; Brehm, 2013; Cote, 2017; Rubah & Tang, 2016). Dengan demikian, wanita cenderung menjadi target pelecehan seksual dalam video game online dan juga akan lebih jarang melakukannya dibandingkan pria.
Pelecehan seksual ini sering kali dipicu oleh ketidakmampuan mereka untuk mengelola faktor-faktor perilaku dan lingkungan yang mereka hadapi, serta kurangnya kesadaran akan dampak negatif dari tindakan mereka terhadap korban. Pelecehan ini tidak hanya mengganggu kenyamanan bermain tetapi juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius, seperti stres, kecemasan, dan trauma berkepanjangan.
PENUTUP
Pelecehan seksual dalam game online, terutama yang dilakukan secara verbal, seringkali berakar dari kurangnya pengendalian diri pada pelaku. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi, dorongan, dan impuls negatif mendorong individu untuk melakukan tindakan yang melanggar norma sosial dan merugikan orang lain. Anonimitas yang ditawarkan oleh dunia online semakin memperkuat perilaku ini, karena pelaku merasa terbebas dari konsekuensi langsung atas tindakan mereka. Korban pelecehan seksual dalam game online seringkali mengalami trauma psikologis yang signifikan. Dampaknya dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk penurunan kepercayaan diri, isolasi sosial, dan bahkan gangguan kesehatan mental. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya self control, baik melalui pendidikan, intervensi psikologis, maupun pengembangan mekanisme pelaporan dan pencegahan yang lebih efektif dalam platform game online.
DAFTAR PUSTAKA
Goldfried dan Merbaum, Behavior Change Through Self-Control (Oxford: APA, 1973).
John C. Mc Mullen, A Test Of Self-Control Theory Using General Patterns Of Deviance (Blacksburg, Virginia, 1999), 21.
(n.d.). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Game online adalah suatu jenis permainan yang dimainkan dalam suatu jaringan. Retrieved August 25, 2024, from https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14258/1/T1_462012099_BAB%20I.pdf
Hamid, I. A., & UNIKOM. (n.d.).
HUBUNGAN SELF CONTROL DAN PELECEHAN SEKSUAL DI RUANG LINGKUP UNM •. (2021, December 26). Estetika Pers. Retrieved August 25, 2024, from https://estetikapers.com/hubungan-self-control-dan-pelecehan-seksual-di-ruang-lingkup-unm/
SKRIPSI HUBUNGAN SELF-CONTROL DENGAN PERILAKU CYBERBULLYING PADA REMAJA DI SMKN 7 MAKASSAR OLEH: PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWAT. (n.d.). Repositori STIK Stella Maris Makassar. Retrieved August 25, 2024, from http://repository.stikstellamarismks.ac.id/265/1/Bab%201.pdf
Tjahjadi, L. S., & Universitas Multimedia Nusantara. (n.d.). Pola Komunikasi Interpersonal. https://kc.umn.ac.id/id/eprint/25858/3/BAB_I.pdf
Ferdina, V. (2019). Penegakkan Hukum Terhadap Pelecehan Seksual Melalui Teknologi Informasi (Cyber) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Jurnal Panorama Hukum, 4(2), 89-101.
Marsela, R. D., & Supriatna, M. (2019). Konsep diri: Definisi dan faktor. Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice, and Research, 3(02), 65-69.
Zulfah, Z. (2021). Karakter: Pengendalian Diri. Iqra: Jurnal Magister Pendidikan Islam, 1(1), 28-33.
Syam, K. F., & Andriani, I. (2024). PENGARUH ANONIMITAS TERHADAP CYBERBULLYING PADA PENGGUNAAN VOICE CHAT DI ANTARA PEMAIN GAME ONLINE. Arjwa: Jurnal Psikologi, 3(2), 113-127.
Tang, W. Y., Reer, F., & Quandt, T. (2020). Investigating sexual harassment in online video games: How personality and context factors are related to toxic sexual behaviors against fellow players. Aggressive behavior, 46(1), 127-135.